Baca Juga
Syarat Wajib dan Syarat Sah Shalat
Setiap ibadah menuntut beberapa persyaratan. Demikian juga dengan shalat. Syeikh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, tt), hal. 9 menjelaskan pengertian syarat sebagai berikut:
ما تتوقف صحة الصلاة عليه وليس جزأ منها. وخرج بهذا القيد الركن، فإنه جزء من الصلاة
“(Syarat dalam bab shalat ialah) hal-hal yang menjadi penentu keabsahan shalat, namun bukan bagian dari shalat. Berbeda dengan rukun yang merupakan bagian shalat.”
Lebih lanjut, Imam Abu Suja’ sebagai pengarang kitab dasar Taqrib yang disyarahi kitab Fathul Qarib di atas, membagi syarat shalat menjadi dua kategori, yakni syarat wajib shalat dan syarat sah shalat. Syarat wajib shalat ini sama seperti syarat-syarat wajib ibadah lainnya, yakni:
فصل - وشرائط وجوب الصلاة ثلاثة أشياء الإسلام والبلوغ والعقل وهو حد التكليف
“Pasal, Syarat wajib shalat ada 3: Islam, baligh, dan berakal. Demikian ini adalah batasan taklif (ketertuntutan syari'at).”
Sedangkan untuk syarat sah shalat yang perlu diperhatikan sebelum memulai shalat, disebutkan oleh beliau ada 5 hal, yakni:
فصل - وشرائط الصلاة قبل الدخول فيها خمسة أشياء طهارة الأعضاء من الحدث والنجس وسترالعورة بلباس طاهر والوقوف على مكان طاهر والعلم بدخول الوقت واستقبال القبلة
“Syarat sah shalat sebelum masuk ke dalam shalat ada lima: sucinya badan dari hadats dan najis, menutup aurat dengan pakaian yang suci, berada di tempat yang suci, tahu pasti akan masuknya waktu shalat, dan menghadap kiblat.”
Dari berbagai ta’bir di atas, bisa kita simpulkan bahwa syarat wajib shalat ada 3:
- Islam
- Baligh
- Berakal
Sedangkan syarat sah shalat ada 5, yakni:
- Suci badan dari hadats dan najis
- Menutup aurat dengan pakaian yang suci
- Tahu pasti akan masuknya waktu shalat
- Menghadap kiblat.
Setiap ibadah menuntut beberapa persyaratan. Demikian juga dengan shalat. Syeikh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, tt), hal. 9 menjelaskan pengertian syarat sebagai berikut:
“(Syarat dalam bab shalat ialah) hal-hal yang menjadi penentu keabsahan shalat, namun bukan bagian dari shalat. Berbeda dengan rukun yang merupakan bagian shalat.”
Lebih lanjut, Imam Abu Suja’ sebagai pengarang kitab dasar Taqrib yang disyarahi kitab Fathul Qarib di atas, membagi syarat shalat menjadi dua kategori, yakni syarat wajib shalat dan syarat sah shalat. Syarat wajib shalat ini sama seperti syarat-syarat wajib ibadah lainnya, yakni:
“Pasal, Syarat wajib shalat ada 3: Islam, baligh, dan berakal. Demikian ini adalah batasan taklif (ketertuntutan syari'at).”
Sedangkan untuk syarat sah shalat yang perlu diperhatikan sebelum memulai shalat, disebutkan oleh beliau ada 5 hal, yakni:
“Syarat sah shalat sebelum masuk ke dalam shalat ada lima: sucinya badan dari hadats dan najis, menutup aurat dengan pakaian yang suci, berada di tempat yang suci, tahu pasti akan masuknya waktu shalat, dan menghadap kiblat.”
Dari berbagai ta’bir di atas, bisa kita simpulkan bahwa syarat wajib shalat ada 3:
Sedangkan syarat sah shalat ada 5, yakni:
Rukun Shalat
Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz I, hal. 129, menjelaskan makna rukun sebagai berikut:
معني الركن: ركن الشيء ما كان جزءاً أساسياً منه، كالجدار من الغرفة، فأجزاء الصلاة إذا أركانها كالركوع والسجود ونحوهما. ولا يتكامل وجود الصلاة ولا تتوفر صحتها إلا بأن يتكامل فيها جميع أجزائها بالشكل والترتيب الواردين عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم
“Makna rukun. Rukun sesuatu ialah bagian mendasar dari sesuatu tersebut, seperti tembok bagi bangunan. Maka bagian-bagian shalat adalah rukun-rukunnya seperti ruku’ dan sujud. Tidak akan sempurna keberadaan shalat dan tidak akan menjadi sah kecuali apabila semua bagian shalat tertunaikan dengan bentuk dan urutan yang sesuai sebagaimana telah dipraktekkan oleh Nabi ﷺ”
Secara singkat bisa kita artikan bahwa rukun shalat adalah bagian penyusun dari shalat tersebut. Ada berbagai macam versi tentang berapa rukun shalat. Namun demikian, perbedaan versi tersebut tidaklah bersifat substansial, namun hanya persoalan teknis belaka, seperti misalnya ada ahli fiqih yang menyebutkan rukun thuma’ninah (“tak bergerak sejenak”) hanya sekali saja meskipun letaknya di berbagai tempat, dan ada yang menyebutkannya secara terpisah-pisah. Juga ada di antaranya yang menyatakan bahwa niat keluar dari shalat merupakan rukun, namun ada juga yang menyatakan bahwa hal tersebut secara otomatis termaksudkan dalam rukun salam pertama.
Di antara yang secara sangat terperinci menyebutkan rukun-rukun shalat ialah penjelasan Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghayah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 9:
"فصل" وأركان الصلاة ثمانية عشر ركنا النية والقيام مع القدرة وتكبيرة الإحرام وقراءة الفاتحة وبسم الله الرحمن الرحيم آية منها والركوع والطمأنينة فيه والرفع واعتدال والطمأنينة فيه والسجود والطمأنينة فيه والجلوس بين السجدتين والطمأنينة فيه والجلوس الأخير والتشهد فيه والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فيه والتسليمة الأولى ونية الخروج من الصلاة وترتيب الأركان على ما ذكرناه
“Pasal, Rukun-rukun shalat ada 18, yakni:
- Niat
- Berdiri bagi yang mampu
- Takbiratul ihram,
- Membaca surat Al-Fatihah; dimana Bismillahirrahmanirrahîm merupakan bagian ayatnya
- Ruku’,
- Thuma’ninah
- Bangun dari ruku’ dan i’tidal
- Thuma’ninah,
- Sujud
- Thuma’ninah
- Duduk diantara dua sujud
- Thuma’ninah
- Duduk untuk tasyahhud akhir
- Membaca tasyahhud akhir
- Membaca shalawat pada Nabi ﷺ saat tasyahhud akhir
- Salam pertama
- Niat keluar dari shalat
- Tertib; yakni mengurutkan rukun-rukun sesuai apa yang telah dituturkan”
Di antara rukun-rukun itu salah satunya adalah berdiri. Berdiri adalah satu kewajiban yang harus dilakukan ketika seseorang melaksanakan ibadah shalat. Juga berarti bahwa shalat dikatakan sah apabila dilakukan dengan berdiri.
Hal ini ditetapkan oleh para ulama dengan berdasar kepada sabda Rasulullah ﷺ ketika sahabat Imran bin Hushain yang terkena sakit wasir bertanya perihal bagaimana shalatnya. Beliau bersabda sebagai berikut.
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Lakukanlah shalat dengan berdiri. Bila kau tak mampu, maka dengan duduk. Bila kau tak mampu juga, maka dengan tidur miring,” (HR. Imam Bukhari).
Dari hadits tersebut para ulama mengambil satu simpulan hukum bahwa berdiri adalah satu kewajiban yang mesti dilakukan oleh orang yang melakukan shalat. Kebolehan shalat sambil duduk atau tidur miring berlaku bila orang yang shalat karena alasan tertentu tidak mampu berdiri.
Lalu bagaimana batasan seseorang dianggap berdiri?
Musthafa al-Khin dalam karyanya Al-Fiqhul Manhajî menuturkan bahwa seseorang dianggap berdiri apabila ia berdiri secara tegak. Bila tanpa sebab tubuhnya membungkuk atau miring di mana sekiranya telapak tangannya dapat menyentuh lutut, maka ia tidak dianggap berdiri sehingga shalatnya batal karena rukun berdiri tidak terpenuhi di dalam sebagian shalatnya. Sedangkan bila orang tersebut mampu berdiri di sebagian shalatnya dan tak mampu berdiri pada sebagian yang lain, maka ia shalat dengan berdiri semampunya dan selebihnya dilakukan dengan duduk (Lihat Musthafa al-Khin, dan kawan-kawan, Al-Fiqhul Manhajî, Damaskus, Darul Qalam, 1992, juz I, halaman 130).
Lebih lanjut Syeikh Nawawi Banten memberikan batasan kondisi yang membolehkan seseorang melakukan shalat fardhu dengan tidak berdiri. Menurutnya, apapun yang menjadikan hilangnya kekhusyu'an atau kesempurnaan dalam shalat atau yang menyebabkan terjadinya masyaqqah atau kesusahan yang secara adat-kebiasaan tidak bisa ditanggung, maka hal itu membolehkan seseorang untuk tidak berdiri dalam melakukan shalat fardhu, baik fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Lain dari itu para ulama juga menetapkan bahwa kewajiban berdiri ketika shalat hanya berlaku bagi shalat fardhu, bukan shalat sunnah. Di dalam shalat sunnah seseorang secara mutlak diperbolehkan melakukannya dengan duduk atau tidur miring meskipun tidak ada halangan untuk berdiri. Khusus bagi orang yang shalat sunnah dengan posisi tidur miring ketika ruku‘ dan sujud ia wajib melakukan kedua rukun tersebut secara sempurna, yakni ia mesti bangun duduk untuk kemudian melakukan ruku‘ dan sujud. Tidak cukup hanya dengan isyarat, (Lihat Muhammad Nawawi al-Jawi, Kasyifatus Saja, Cyprus, Daru Ibni Hazm, 2011, halaman 210).
Shalat sunnah boleh dilakukan dengan duduk atau tidur miring yang didasarkan pada hadits yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ
“Barangsiapa yang shalat dengan berdiri, maka itu lebih utama. Barangsiapa yang shalat dengan duduk, maka baginya separuh pahala orang yang shalat dengan berdiri. Barangsiapa yang shalat dengan tidur (miring), maka baginya separo pahala orang yang shalat dengan duduk.
Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz I, hal. 129, menjelaskan makna rukun sebagai berikut:
معني الركن: ركن الشيء ما كان جزءاً أساسياً منه، كالجدار من الغرفة، فأجزاء الصلاة إذا أركانها كالركوع والسجود ونحوهما. ولا يتكامل وجود الصلاة ولا تتوفر صحتها إلا بأن يتكامل فيها جميع أجزائها بالشكل والترتيب الواردين عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم
“Makna rukun. Rukun sesuatu ialah bagian mendasar dari sesuatu tersebut, seperti tembok bagi bangunan. Maka bagian-bagian shalat adalah rukun-rukunnya seperti ruku’ dan sujud. Tidak akan sempurna keberadaan shalat dan tidak akan menjadi sah kecuali apabila semua bagian shalat tertunaikan dengan bentuk dan urutan yang sesuai sebagaimana telah dipraktekkan oleh Nabi ﷺ”
Secara singkat bisa kita artikan bahwa rukun shalat adalah bagian penyusun dari shalat tersebut. Ada berbagai macam versi tentang berapa rukun shalat. Namun demikian, perbedaan versi tersebut tidaklah bersifat substansial, namun hanya persoalan teknis belaka, seperti misalnya ada ahli fiqih yang menyebutkan rukun thuma’ninah (“tak bergerak sejenak”) hanya sekali saja meskipun letaknya di berbagai tempat, dan ada yang menyebutkannya secara terpisah-pisah. Juga ada di antaranya yang menyatakan bahwa niat keluar dari shalat merupakan rukun, namun ada juga yang menyatakan bahwa hal tersebut secara otomatis termaksudkan dalam rukun salam pertama.
Di antara yang secara sangat terperinci menyebutkan rukun-rukun shalat ialah penjelasan Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghayah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 9:
"فصل" وأركان الصلاة ثمانية عشر ركنا النية والقيام مع القدرة وتكبيرة الإحرام وقراءة الفاتحة وبسم الله الرحمن الرحيم آية منها والركوع والطمأنينة فيه والرفع واعتدال والطمأنينة فيه والسجود والطمأنينة فيه والجلوس بين السجدتين والطمأنينة فيه والجلوس الأخير والتشهد فيه والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فيه والتسليمة الأولى ونية الخروج من الصلاة وترتيب الأركان على ما ذكرناه
“Pasal, Rukun-rukun shalat ada 18, yakni:
- Niat
- Berdiri bagi yang mampu
- Takbiratul ihram,
- Membaca surat Al-Fatihah; dimana Bismillahirrahmanirrahîm merupakan bagian ayatnya
- Ruku’,
- Thuma’ninah
- Bangun dari ruku’ dan i’tidal
- Thuma’ninah,
- Sujud
- Thuma’ninah
- Duduk diantara dua sujud
- Thuma’ninah
- Duduk untuk tasyahhud akhir
- Membaca tasyahhud akhir
- Membaca shalawat pada Nabi ﷺ saat tasyahhud akhir
- Salam pertama
- Niat keluar dari shalat
- Tertib; yakni mengurutkan rukun-rukun sesuai apa yang telah dituturkan”
Di antara rukun-rukun itu salah satunya adalah berdiri. Berdiri adalah satu kewajiban yang harus dilakukan ketika seseorang melaksanakan ibadah shalat. Juga berarti bahwa shalat dikatakan sah apabila dilakukan dengan berdiri.
Hal ini ditetapkan oleh para ulama dengan berdasar kepada sabda Rasulullah ﷺ ketika sahabat Imran bin Hushain yang terkena sakit wasir bertanya perihal bagaimana shalatnya. Beliau bersabda sebagai berikut.
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Lakukanlah shalat dengan berdiri. Bila kau tak mampu, maka dengan duduk. Bila kau tak mampu juga, maka dengan tidur miring,” (HR. Imam Bukhari).
Dari hadits tersebut para ulama mengambil satu simpulan hukum bahwa berdiri adalah satu kewajiban yang mesti dilakukan oleh orang yang melakukan shalat. Kebolehan shalat sambil duduk atau tidur miring berlaku bila orang yang shalat karena alasan tertentu tidak mampu berdiri.
Lalu bagaimana batasan seseorang dianggap berdiri?
Musthafa al-Khin dalam karyanya Al-Fiqhul Manhajî menuturkan bahwa seseorang dianggap berdiri apabila ia berdiri secara tegak. Bila tanpa sebab tubuhnya membungkuk atau miring di mana sekiranya telapak tangannya dapat menyentuh lutut, maka ia tidak dianggap berdiri sehingga shalatnya batal karena rukun berdiri tidak terpenuhi di dalam sebagian shalatnya. Sedangkan bila orang tersebut mampu berdiri di sebagian shalatnya dan tak mampu berdiri pada sebagian yang lain, maka ia shalat dengan berdiri semampunya dan selebihnya dilakukan dengan duduk (Lihat Musthafa al-Khin, dan kawan-kawan, Al-Fiqhul Manhajî, Damaskus, Darul Qalam, 1992, juz I, halaman 130).
Lebih lanjut Syeikh Nawawi Banten memberikan batasan kondisi yang membolehkan seseorang melakukan shalat fardhu dengan tidak berdiri. Menurutnya, apapun yang menjadikan hilangnya kekhusyu'an atau kesempurnaan dalam shalat atau yang menyebabkan terjadinya masyaqqah atau kesusahan yang secara adat-kebiasaan tidak bisa ditanggung, maka hal itu membolehkan seseorang untuk tidak berdiri dalam melakukan shalat fardhu, baik fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Lain dari itu para ulama juga menetapkan bahwa kewajiban berdiri ketika shalat hanya berlaku bagi shalat fardhu, bukan shalat sunnah. Di dalam shalat sunnah seseorang secara mutlak diperbolehkan melakukannya dengan duduk atau tidur miring meskipun tidak ada halangan untuk berdiri. Khusus bagi orang yang shalat sunnah dengan posisi tidur miring ketika ruku‘ dan sujud ia wajib melakukan kedua rukun tersebut secara sempurna, yakni ia mesti bangun duduk untuk kemudian melakukan ruku‘ dan sujud. Tidak cukup hanya dengan isyarat, (Lihat Muhammad Nawawi al-Jawi, Kasyifatus Saja, Cyprus, Daru Ibni Hazm, 2011, halaman 210).
Shalat sunnah boleh dilakukan dengan duduk atau tidur miring yang didasarkan pada hadits yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ
“Barangsiapa yang shalat dengan berdiri, maka itu lebih utama. Barangsiapa yang shalat dengan duduk, maka baginya separuh pahala orang yang shalat dengan berdiri. Barangsiapa yang shalat dengan tidur (miring), maka baginya separo pahala orang yang shalat dengan duduk.
Yang Membatalkan Shalat
Selain mengetahui syarat dan rukun shalat. Seorang muslim yang hendak melaksanakan shalat juga harus mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Karena shalat menjadi tidak sah bukan hanya karena kurangnya rukun yang dikerjakan, melainkan bisa jadi karena seorang mushalli (orang yang melaksanakan shalat) melakukan hal-hal yang membatalkan shalat.
Syeikh Salim bin Sumair al-Hadhrami dalam kitab Safinatun Najah menyebutkan 14 hal yang termasuk sesuatu yang dapat membatalkan shalat.
فصل - تبطل الصلاة بأربع عشرة خصلة: بالحدث، وبوقوع النجاسة إن لم تلق حالا من غير حمل، وانكشاف العورة إن لم تستر حالا، والنطق بحرفين أو حرف مفھم عمدا، وبالمفطر عمدا، والأكل الكثير ناسيا، أوثلاث حركات متواليات ولو سھوا، والوثبة الفاحشة والضربة المفرطة، وزيادة ركن فعلي عمدا، والتقدم على إمامه بركنين فعليين، والتخلف بھما بغيرعذر، ونية قطع الصلاة وتعليق قطعھا بشيء، والتردد في قطعھا
Perkara yang membatalkan shalat ada empat belas, yaitu:
- Berhadats (seperti kencing dan buang air besar).
- Terkena najis, jika tidak dihilangkan seketika, tanpa dipegang atau diangkat (dengan tangan atau selainnya).
- Terbuka aurat, jika tidak dihilangkan seketika.
- Mengucapkan dua huruf atau satu huruf yang dapat difaham.
- Mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa dengn sengaja.
- Makan yang banyak sekalipun lupa.
- Bergerak dengan tiga gerakan berturut-turut sekalipun lupa.
- Melompat yang luas.
- Memukul yang keras.
- Menambah rukun fi'li dengan sengaja.
- Mendahului imam dengan dua rukun fi'li dengan sengaja.
- Terlambat denga dua rukun fi'li tanpa udzur.
- Niat yang membatalkan shalat.
- Mensyaratkan berhenti shalat dengan sesuatu dan ragu dalam memberhentikannya.
Demikian penjelasan tentang syarat, rukun dan yang membatalkan shalat, semoga kita senantiasa bisa istiqamah melaksanakan shalat sesuai apa yang telah ditauladankan oleh Nabi Muhammad ﷺ, dan dilaksanakan tepat waktu.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Selain mengetahui syarat dan rukun shalat. Seorang muslim yang hendak melaksanakan shalat juga harus mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Karena shalat menjadi tidak sah bukan hanya karena kurangnya rukun yang dikerjakan, melainkan bisa jadi karena seorang mushalli (orang yang melaksanakan shalat) melakukan hal-hal yang membatalkan shalat.
Syeikh Salim bin Sumair al-Hadhrami dalam kitab Safinatun Najah menyebutkan 14 hal yang termasuk sesuatu yang dapat membatalkan shalat.
فصل - تبطل الصلاة بأربع عشرة خصلة: بالحدث، وبوقوع النجاسة إن لم تلق حالا من غير حمل، وانكشاف العورة إن لم تستر حالا، والنطق بحرفين أو حرف مفھم عمدا، وبالمفطر عمدا، والأكل الكثير ناسيا، أوثلاث حركات متواليات ولو سھوا، والوثبة الفاحشة والضربة المفرطة، وزيادة ركن فعلي عمدا، والتقدم على إمامه بركنين فعليين، والتخلف بھما بغيرعذر، ونية قطع الصلاة وتعليق قطعھا بشيء، والتردد في قطعھا
Perkara yang membatalkan shalat ada empat belas, yaitu:
- Berhadats (seperti kencing dan buang air besar).
- Terkena najis, jika tidak dihilangkan seketika, tanpa dipegang atau diangkat (dengan tangan atau selainnya).
- Terbuka aurat, jika tidak dihilangkan seketika.
- Mengucapkan dua huruf atau satu huruf yang dapat difaham.
- Mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa dengn sengaja.
- Makan yang banyak sekalipun lupa.
- Bergerak dengan tiga gerakan berturut-turut sekalipun lupa.
- Melompat yang luas.
- Memukul yang keras.
- Menambah rukun fi'li dengan sengaja.
- Mendahului imam dengan dua rukun fi'li dengan sengaja.
- Terlambat denga dua rukun fi'li tanpa udzur.
- Niat yang membatalkan shalat.
- Mensyaratkan berhenti shalat dengan sesuatu dan ragu dalam memberhentikannya.
Demikian penjelasan tentang syarat, rukun dan yang membatalkan shalat, semoga kita senantiasa bisa istiqamah melaksanakan shalat sesuai apa yang telah ditauladankan oleh Nabi Muhammad ﷺ, dan dilaksanakan tepat waktu.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Terimakasih sudah berkunjung & berbagi. ( Lintang Sanga )