Baca Juga
Menurut syari'at, qurban merupakan sebuah kegiatan menyembelih hewan qurban yang dilaksanakan sesudah menunaikan shalat Idul Adha dan hari Tasyriq. Hari Tasyriq adalah hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah. Perintah qurban datang pada tahun ke-2 Hijriyah.
Kata qurban menurut etimologi berasal dari bahasa Arab qariba – yaqrabu – qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang artinya dekat (Ibn Manzhur: 1992:1:662; Munawir:1984:1185). Maksudnya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengerjakan sebagian perintah-Nya.
Yang dimaksud dari kata qurban yang digunakan bahasa sehari-hari, dalam istilah agama disebut الأضحية (al-udhiyah) bentuk jamak dari kata “dhahiyyah” yang berasal dari kata أَضْحَى (adh-ha), yaitu permulaan siang setelah terbitnya matahari dan dhuha yang selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama shalat, yaitu shalat dhuha di saat terbitnya matahari hingga menjadi putih cemerlang. Dari sini muncul istilah Idul Adha.
Yang dimaksud dari kata qurban yang digunakan bahasa sehari-hari, dalam istilah agama disebut الأضحية (al-udhiyah) bentuk jamak dari kata “dhahiyyah” yang berasal dari kata أَضْحَى (adh-ha), yaitu permulaan siang setelah terbitnya matahari dan dhuha yang selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama shalat, yaitu shalat dhuha di saat terbitnya matahari hingga menjadi putih cemerlang. Dari sini muncul istilah Idul Adha.
Qurban dalam dimensi vertikal adalah bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah supaya mendapatkan keridhaan-Nya. Sedangkan dalam dimensi sosial, qurban bertujuan untuk menggembirakan kaum fakir pada hari raya Idul Adha, sebagaimana pada hari raya Idul Fitri mereka digembirakan dengan zakat fitrah. Karena itu, daging qurban hendaklah diberikan kepada mereka yang membutuhkan, boleh menyisakan secukupnya untuk dikonsumsi keluarga yang berqurban, dengan tetap mengutamakan kaum faqir dan miskin.
Dalil Berqurban
Dalil atau hukum yang mendasari adanya perintah ibadah qurban adalah ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan hadits, diantaranya:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ . فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ . إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (QS. Al-Kautsar [108]: 1-3)
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj [22]: 36)
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
"Daging-daging qurban dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj [22]: 37)
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
"Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al-Hakim 7672)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Aku ikut bersama Rasulullah ﷺ pada hari ‘Idul Adha di mushalla (lapangan tempat shalat). Setelah selesai khutbah, Rasulullah ﷺ turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing kibasy, lalu Rasulullah menyembelihnya dengan kedua tangannya seraya berkata, ”Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang belum berqurban.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (II/86), At Tirmidzi dalam Jami’-nya (1.141) dan Ahmad (14.308 dan 14.364))
Hukum Berqurban
Hukum berqurban adalah sunnah muakkadah bagi kita artinya kesunnahan yang sangat ditekankan namun bagi Rasulullah ﷺ berqurban adalah wajib sebagai kekhususan beliau.
Kesunnahan tadi terbagi dua ada kalanya sunnah kifayah yaitu bagi tiap-tiap muslim yang sudah baligh, berakal, memiliki kemampuan untuk berqurban dan hidup dalam satu keluarga. Artinya jika ada salah satu anggota keluarga berqurban, maka gugurlah tuntutan untuk berqurban dari tiap-tiap anggota keluarga itu. Namun tentunya yang mendapat pahala qurban adalah khusus bagi orang yang melakukannya.
Dan ada kalanya hukum qurban sunnah 'ain yaitu bagi mereka yang hidup seorang diri, tidak memiliki sanak saudara. Atau dengan kata lain sunnah 'ain adalah sasaran kesunnahannya ditujukan pada individu atau personal semata.
Yang dimaksud 'memiliki kemampuan' di sini adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk dibuat qurban dan cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq.
Bahkan Imam Asy-Syafi'i berkata, "Saya tidak memberi dispensasi/ keringanan sedikitpun pada orang yang mampu berqurban untuk meninggalkannya". Maksud perkataan ini adalah makruh bagi orang yang mampu berqurban, tapi tidak mau melaksanakannya (lihat: Iqna' II/278)
Meskipun hukum qurban adalah sunnah, namun suatu ketika bisa saja berubah menjadi wajib, yaitu jika dinadzarkan. Maka konsekwensinya jika sudah menjadi qurban wajib dia dan keluarga yang dia tanggung nafkahnya tidak boleh mengambil atau memakan sedikitpun dari daging qurban tersebut.
Kesunnahan tadi terbagi dua ada kalanya sunnah kifayah yaitu bagi tiap-tiap muslim yang sudah baligh, berakal, memiliki kemampuan untuk berqurban dan hidup dalam satu keluarga. Artinya jika ada salah satu anggota keluarga berqurban, maka gugurlah tuntutan untuk berqurban dari tiap-tiap anggota keluarga itu. Namun tentunya yang mendapat pahala qurban adalah khusus bagi orang yang melakukannya.
Dan ada kalanya hukum qurban sunnah 'ain yaitu bagi mereka yang hidup seorang diri, tidak memiliki sanak saudara. Atau dengan kata lain sunnah 'ain adalah sasaran kesunnahannya ditujukan pada individu atau personal semata.
Yang dimaksud 'memiliki kemampuan' di sini adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk dibuat qurban dan cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq.
Bahkan Imam Asy-Syafi'i berkata, "Saya tidak memberi dispensasi/ keringanan sedikitpun pada orang yang mampu berqurban untuk meninggalkannya". Maksud perkataan ini adalah makruh bagi orang yang mampu berqurban, tapi tidak mau melaksanakannya (lihat: Iqna' II/278)
Meskipun hukum qurban adalah sunnah, namun suatu ketika bisa saja berubah menjadi wajib, yaitu jika dinadzarkan. Maka konsekwensinya jika sudah menjadi qurban wajib dia dan keluarga yang dia tanggung nafkahnya tidak boleh mengambil atau memakan sedikitpun dari daging qurban tersebut.
Keutamaan Berqurban
Ibadah qurban mendapatkan ganjaran yang berlipat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam sebuah hadits disebutkan, “Pada setiap lembar bulunya itu kita memperoleh satu kabaikan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Juga kelak pada hari akhir nanti, hewan yang kita qurbankan akan menjadi saksi.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
'Aisyah menuturkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda, "Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat At-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117)
Menurut Zain Al-Arab, ibadah yang paling utama pada hari raya Idul Adha adalah menyembelih hewan untuk qurban karena Allah. Sebab pada hari kiamat nanti, hewan itu akan mendatangi orang yang menyembelihnya dalam keadaan utuh seperti di dunia, setiap anggotanya tidak ada yang kurang sedikit pun dan semuanya akan menjadi nilai pahala baginya. Kemudian hewan itu digambarkan secara metaphoris akan menjadi kendaraannya untuk berjalan melewati shirath. Demikian ini merupakan balasan dan bukti keridhaan Allah kepada orang yang melakukan ibadah qurban tersebut. (Abul Ala al-Mubarakfuri: tt: V/62)
Berqurban juga menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Isma'il ‘alaihissalam ketika hari An-Nahr (Idul Adha).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفٍ الْعَسْقَلَانِيُّ حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ مِسْكِينٍ حَدَّثَنَا عَائِذُ اللَّهِ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ
Berkata kepada kami Muhammad bin Khalaf Al-‘Asqalani, berkata kepada kami Adam bin Abi Iyas, berkata kepada kami Sullam bin Miskin, berkata kepada kami ‘Aidzullah, dari Abu Dawud, dari Zaid bin Arqam, dia berkata: berkata para sahabat Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah, hewan qurban apa ini?” Beliau bersabda, “Ini adalah sunnah bapak kalian, Ibrahim.” Mereka berkata, “Lalu pada hewan tersebut, kami dapat apa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Pada setiap bulu ada satu kebaikan.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan shuf (bulu domba)?” Beliau bersabda, “Pada setiap bulu shuf ada satu kebaikan.” (HR. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 3127)
Hikmah Qurban
Berikut ini beberapa rahasia dan hikmah di balik ibadah qurban.
Sungguh telah mutawatir amal qurban kaum muslimin sejak masa Nabi ﷺ hingga hari ini, dan qurban juga adalah sunnah Nabi Ibrahim 'alaihissalam, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, “Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar." (QS. Ash-Shaffhat:107).
Demikian pula ibadah qurban berfungsi sebagai tebusan bagi pequrban dari api neraka. Dalam Kitab Takhrij al-Ihya’ (II/25), Al-Hafizh Al-Iraqi memapaparkan,
Dalam kitab Ad-Dhahaya karya Abu Asy-Syaikh dari hadits Abu Sa’id: “Maka bagimu sejak pertama tetesan darah qurban diampuni dosa-dosamu yang telah lalu. Nabi ﷺ menyabdakannya kepada Fathimah radhiyallahu 'anha, dan sanadnya lemah. Demikian pula ada hadits yang menjelaskan janji keutamaan qurban. Karenanya, setiap hewan qurban semakin besar dan anggota tubuhnya semakin sempurna, maka semakin sempurna pula tebusanmu dari api neraka.”
“Telah diambil janji yang luas atas kami dari Rasulullah ﷺ agar kami berqurban untuk diri, keluarga dan anak-anak kami setiap tahun. Qurban tidak kami tinggalkan kecuali karena udzur syar’i. Hikmahnya adalah hilangnya penyakit dari orang dikeluarkan qurbannya dan terampuni dosa-dosanya. Sebab itu dimaklumi, bahwa di antara syarat qurban dapat menolak bala dari keluarga pequrban adalah qurbannya berasal dari harta yang halal.”
(Sungguh hewan qurban akan datang di hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, kuku- kukunya), lalu diletakkan dalam timbangan amal pelakunya sebagaimana dijelaskan dalam hadits 'Ali radhiyallahu 'anhu.
- Tebusan dari Api Neraka
وَقَدْ تَوَاترَ عَمَلُ الْمُسْلِمِيْنَ بِذَلِكَ مِنْ زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا، وَهِيَ مِنْ سُنَّةِ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ )الصافات : 107
Sungguh telah mutawatir amal qurban kaum muslimin sejak masa Nabi ﷺ hingga hari ini, dan qurban juga adalah sunnah Nabi Ibrahim 'alaihissalam, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, “Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar." (QS. Ash-Shaffhat:107).
Demikian pula ibadah qurban berfungsi sebagai tebusan bagi pequrban dari api neraka. Dalam Kitab Takhrij al-Ihya’ (II/25), Al-Hafizh Al-Iraqi memapaparkan,
وَفِي كِتابِ الضَّحَايَا لِأَبِي الشَّيْخِ مِنْ حَدِيْثِ أَبِي سَعِيْدٍ: فَإِنَّ لَكَ بِأَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا أَنْ يُغْفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذُنُوْبِكَ. يَقُوْلُهُ لِفَاطِمَةَ رضي الله عنها وَإِسْنَادُهُ ضَعِيْفٌ. فَهَكَذَا وَرَدَ الْوَعْدُ فَكُلَّمَا كَانَ الْهَدْيُ أَكْبَرُ وَأَجْزَاؤُهُ أَوْفَرُ كَانَ فِدَاؤُك مِنَ النَّارِ أَعَمُّ
Dalam kitab Ad-Dhahaya karya Abu Asy-Syaikh dari hadits Abu Sa’id: “Maka bagimu sejak pertama tetesan darah qurban diampuni dosa-dosamu yang telah lalu. Nabi ﷺ menyabdakannya kepada Fathimah radhiyallahu 'anha, dan sanadnya lemah. Demikian pula ada hadits yang menjelaskan janji keutamaan qurban. Karenanya, setiap hewan qurban semakin besar dan anggota tubuhnya semakin sempurna, maka semakin sempurna pula tebusanmu dari api neraka.”
- Terampuni Dosa, Hilangnya Penyakit dan Tolak Bala
أُخِذَ عَلَيْنَا الْعَهْدُ الْعَامُّ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نُضَحِّيَ عَنْ أَنْفُسِنَا وَعِيَالِنَا وَأَوْلَادِناَ كُلَّ سَنَةٍ وَلَا نَتْرُكَ التَّضْحِيَّةَ إِلَّا لِعُذْرٍ شَرْعِيٍّ . وَالْحِكْمَةُ فِي ذَلِكَ إِمَاطَةُ الْأَذَى عَمَّنْ ذُبِحَتْ عَلَى اسْمِهِ وَمَغْفِرَةُ ذُنُوْبِهِ فَعُلِمَ أَنَّ مِنْ شَرْطِ دَفْعِ الضُّحْيَضةِ الْبَلَاءَ عَنْ أَهْلِ الْمَنْزِلِ أَنْ تَكُوْنَ مِنْ وَجْهٍ حَلَالٍ
“Telah diambil janji yang luas atas kami dari Rasulullah ﷺ agar kami berqurban untuk diri, keluarga dan anak-anak kami setiap tahun. Qurban tidak kami tinggalkan kecuali karena udzur syar’i. Hikmahnya adalah hilangnya penyakit dari orang dikeluarkan qurbannya dan terampuni dosa-dosanya. Sebab itu dimaklumi, bahwa di antara syarat qurban dapat menolak bala dari keluarga pequrban adalah qurbannya berasal dari harta yang halal.”
- Memenuhi Timbangan Amal Baik
)إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا) فَتُوْضَعُ فِي مِيْزَانِهِ كَماَ صَرَّحَ بِهِ خَبَرُ عَلِيٍّ
(Sungguh hewan qurban akan datang di hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, kuku- kukunya), lalu diletakkan dalam timbangan amal pelakunya sebagaimana dijelaskan dalam hadits 'Ali radhiyallahu 'anhu.
Syarat Orang Yang Berqurban
- Seorang muslim/ muslimah
- Usia baligh
Baligh ada 3 tanda, yaitu:
a. Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun Hijriyah.
b. Keluar darah haid usia 9 tahun Hijriyah (bagi anak perempuan).
c. Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka ditunggu hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun maka ia telah baligh dengan usia yaitu usia 15 tahun.
Dan jika ada anak yang belum baligh maka tidak diminta untuk melakukan qurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama anak tersebut. - Berakal, maka orang gila tidak diminta untuk melakukan qurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama orang gila tersebut.
- Mampu. Mampu di sini adalah punya kelebihan dari makanan pokok, pakaian dan tempat tinggal untuk dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Adha dan hari tasyriq.
Binatang yang Diperbolehkan untuk Qurban
Para ulama sepakat bahwa semua hewan ternak boleh dijadikan untuk qurban. Hanya saja ada perbedaan pendapat mengenai mana yang lebih utama dari jenis-jenis hewan tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa yang paling utama adalah kambing atau domba, kemudian sapi, lalu unta. Sedangkan Imam Asy-Syafi’i berpendapat sebaliknya, yaitu yang paling utama adalah unta, disusul kemudian sapi, lalu kambing (Ibn Rusyd: tt: I:315).
Agar ibadah qurbannya sah menurut syari'at, seorang yang hendak berqurban harus memperhatikan kriteria-kriteria dari hewan yang akan disembelihnya. Kriteria-kriteria tersebut diklasifikasikan sesuai dengan usia dan jenis hewan qurban, yaitu:
Selain kriteria di atas, hewan-hewan tersebut harus dalam kondisi sehat dan tidak cacat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dari Al-Barra bin Azib radliyallahu ‘anhu,
Ada empat macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan qurban, “(1) yang (matanya) jelas-jelas buta (picek), (2) yang (fisiknya) jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang (kakinya) jelas-jelas pincang, dan (4) yang (badannya) kurus lagi tak berlemak.” (Hadits Hasan Shahih, riwayat At-Tirmidzi: 1417 dan Abu Dawud: 2420)
Akan tetapi, ada beberapa cacat hewan yang tidak menghalangi sahnya ibadah qurban, yaitu; Hewan yang dikebiri dan hewan yang pecah tanduknya. Adapun cacat hewan yang putus telinga atau ekornya, tetap tidak sah untuk dijadikan qurban. (Dr. Musthafa, Dib al-Bigha: 1978:243). Hal ini dikarenakan cacat yang pertama tidak mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat bathin), sedangkan cacat yang kedua mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat fisik).
Agar ibadah qurbannya sah menurut syari'at, seorang yang hendak berqurban harus memperhatikan kriteria-kriteria dari hewan yang akan disembelihnya. Kriteria-kriteria tersebut diklasifikasikan sesuai dengan usia dan jenis hewan qurban, yaitu:
- Domba (dha’n) harus mencapai minimal usia satu tahun lebih, atau sudah berganti giginya (al-jadza’).
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sembelilhlah domba yang jadza’, karena itu diperbolehkan.” (Hadits Shahih, riwayat Ibn Majah: 3130, Ahmad: 25826)
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu 'anhu, aku berkata, Wahai Rasulullah ﷺ, aku mempunyai jadza’, Rasulullah ﷺ menjawab, “Berqurbanlah dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). - Kambing kacang (ma’z) harus mencapai usia minimal dua tahun lebih.
- Sapi dan kerbau harus mencapai usia minimal dua tahun lebih.
- Unta harus mencapai usia lima tahun atau lebih.
Selain kriteria di atas, hewan-hewan tersebut harus dalam kondisi sehat dan tidak cacat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dari Al-Barra bin Azib radliyallahu ‘anhu,
أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى
Ada empat macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan qurban, “(1) yang (matanya) jelas-jelas buta (picek), (2) yang (fisiknya) jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang (kakinya) jelas-jelas pincang, dan (4) yang (badannya) kurus lagi tak berlemak.” (Hadits Hasan Shahih, riwayat At-Tirmidzi: 1417 dan Abu Dawud: 2420)
Akan tetapi, ada beberapa cacat hewan yang tidak menghalangi sahnya ibadah qurban, yaitu; Hewan yang dikebiri dan hewan yang pecah tanduknya. Adapun cacat hewan yang putus telinga atau ekornya, tetap tidak sah untuk dijadikan qurban. (Dr. Musthafa, Dib al-Bigha: 1978:243). Hal ini dikarenakan cacat yang pertama tidak mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat bathin), sedangkan cacat yang kedua mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat fisik).
Binatang-Binatang yang Tidak Diperbolehkan untuk Qurban
Syarat-syarat binatang yang untuk qurban adalah bintang yang bebas dari aib (cacat). Karena itu, tidak boleh berqurban dengan binatang yang aib seperti di bawah ini:
- Yang penyakitnya terlihat dengan jelas.
- Yang buta dan jelas terlihat kebutaannya
- Yang pincang sekali.
- Yang sumsum tulangnya tidak ada, karena kurus sekali.
- Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada empat penyakit pada binatang qurban yang dengannya qurban itu tidak mencukupi. Yaitu yang buta dengan kebutaan yang nampak sekali, dan yang sakit dan penyakitnya terlihat sekali, yang pincang sekali, dan yang kurus sekali.” (HR. At-Tirmidzi seraya mengatakan hadits ini hasan shahih).
- Yang cacat, yaitu yang telinga atau tanduknya sebagian besar hilang.
Selain binatang lima di atas, ada binatang-binatang lain yang tidak boleh untuk qurban, yaitu:
- Hatma’ (ompong gigi depannya, seluruhnya).
- Ashma’ (yang kulit tanduknya pecah).
- Umya’ (buta).
- Taula’ (yang mencari makan di perkebunan, tidak digembalakan).
- Jarba’ (yang banyak penyakit kudisnya).
Juga tidak mengapa berqurban dengan binatang yang tak bersuara, yang buntutnya terputus, yang bunting, dan yang tidak ada sebagian telinga atau sebagian besar bokongnya tidak ada. Menurut yang tershahih dalam madzhab Syafi’i, bahwa yang bokong/pantatnya terputus tidak mencukupi, begitu juga yang puting susunya tidak ada, karena hilangnya sebagian organ yang dapat dimakan. Demikian juga yang ekornya terputus. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Kami tidak memperoleh hadits tentang gigi sama sekali.“
Berqurban dengan seekor kambing atau domba diperuntukkan untuk satu orang, sedangkan unta, sapi dan kerbau diperuntukkan untuk berqurban tujuh orang. Ketentuan ini dapat disimpulkan dari hadits berikut:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, “Kami telah menyembelih qurban bersama Rasulullah ﷺ pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh orang.” (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, At-Tirmidzi: 1422 dan Ibn Majah: 3123).
Hadits selanjutnya menjelaskan tentang berqurban dengan seekor domba yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ:
Dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, menginformasikan sesungguhnya Rasulullah ﷺ menyuruh untuk mendatangkan satu ekor domba (kibasy) yang bertanduk . Kemudian domba itu didatangkan kepadanya untuk melaksanakan qurban. Beliau berkata kepada 'Aisyah: Wahai 'Aisyah, ambilkan untukku pisau (golok). Nabi selanjutnya memerintahkan 'Aisyah: Asahlah golok itu pada batu (asah). 'Aisyah kemudian melakukan sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah. Kemudian Nabi mengambil golok itu dan mengambil domba (kibasy), kemudian membaringkannya, dan menyembelihnya sambil berdo'a: Dengan nama Allah, wahai Allah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan umat Muhammad, beliau berqurban dengan domba itu”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 1967).
Do'a Nabi dalam hadits di atas, ketika beliau melaksanakan qurban: “Wahai Allah, terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan umat Muhammad” tidak bisa dipahami bahwa qurban dengan satu domba cukup untuk keluarga dan untuk semua umat Nabi. Penyebutan itu hanya dalam rangka menyertakan dalam memperoleh pahala dari qurban tersebut. Apabila dipahami bahwa berqurban dengan satu kambing cukup untuk satu keluarga dan seluruh umat Nabi Muhammad, maka tidak ada lagi orang yang berqurban. Dengan demikian, pemahaman bahwa satu domba bisa untuk berqurban satu keluarga dan seluruh umat, harus diluruskan dan dibetulkan sesuai dengan ketentuan satu domba untuk satu orang, sedangkan onta, sapi, dan kerbau untuk tujuh orang sebagaimana dijelaskan hadits di atas.
Ketentuan Qurban
Berqurban dengan seekor kambing atau domba diperuntukkan untuk satu orang, sedangkan unta, sapi dan kerbau diperuntukkan untuk berqurban tujuh orang. Ketentuan ini dapat disimpulkan dari hadits berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, “Kami telah menyembelih qurban bersama Rasulullah ﷺ pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh orang.” (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, At-Tirmidzi: 1422 dan Ibn Majah: 3123).
Hadits selanjutnya menjelaskan tentang berqurban dengan seekor domba yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ (يعني السكين) ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
Dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, menginformasikan sesungguhnya Rasulullah ﷺ menyuruh untuk mendatangkan satu ekor domba (kibasy) yang bertanduk . Kemudian domba itu didatangkan kepadanya untuk melaksanakan qurban. Beliau berkata kepada 'Aisyah: Wahai 'Aisyah, ambilkan untukku pisau (golok). Nabi selanjutnya memerintahkan 'Aisyah: Asahlah golok itu pada batu (asah). 'Aisyah kemudian melakukan sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah. Kemudian Nabi mengambil golok itu dan mengambil domba (kibasy), kemudian membaringkannya, dan menyembelihnya sambil berdo'a: Dengan nama Allah, wahai Allah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan umat Muhammad, beliau berqurban dengan domba itu”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 1967).
Do'a Nabi dalam hadits di atas, ketika beliau melaksanakan qurban: “Wahai Allah, terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan umat Muhammad” tidak bisa dipahami bahwa qurban dengan satu domba cukup untuk keluarga dan untuk semua umat Nabi. Penyebutan itu hanya dalam rangka menyertakan dalam memperoleh pahala dari qurban tersebut. Apabila dipahami bahwa berqurban dengan satu kambing cukup untuk satu keluarga dan seluruh umat Nabi Muhammad, maka tidak ada lagi orang yang berqurban. Dengan demikian, pemahaman bahwa satu domba bisa untuk berqurban satu keluarga dan seluruh umat, harus diluruskan dan dibetulkan sesuai dengan ketentuan satu domba untuk satu orang, sedangkan onta, sapi, dan kerbau untuk tujuh orang sebagaimana dijelaskan hadits di atas.
Waktu Penyembelihan
Waktu menyembelih qurban dimulai setelah matahari setinggi tombak atau seusai shalat Idul Adha (10 Dzulhijjah) sampai terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Setelah tiga hari tersebut tidak ada lagi waktu penyembelihannya.
Awal Waktu
Waktu untuk menyembelih qurban bisa di 'awal waktu' yaitu setelah shalat 'Id langsung dan tidak menunggu hingga selesai khutbah. Bila di sebuah tempat tidak terdapat pelaksanaan shalat 'Id, maka waktunya diperkirakan dengan ukuran shalat 'Id.
Dari Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi ﷺ bersabda, "Barangsiapa menyembelih hewan qurban setelah shalat Idul Adha, maka sembelihannya telah sempurna dan ia sesuai dengan sunnah kaum muslimin.” (HR. Bukhari no. 5545).
Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum waktunya maka tidak sah dan wajib menggantinya
Awal Waktu
Waktu untuk menyembelih qurban bisa di 'awal waktu' yaitu setelah shalat 'Id langsung dan tidak menunggu hingga selesai khutbah. Bila di sebuah tempat tidak terdapat pelaksanaan shalat 'Id, maka waktunya diperkirakan dengan ukuran shalat 'Id.
عَنِ البَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ تَمَّ نُسُكُهُ، وَأَصَابَ سُنَّةَ المُسْلِمِينَ (رواه البخارى : 5545 )
Dari Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi ﷺ bersabda, "Barangsiapa menyembelih hewan qurban setelah shalat Idul Adha, maka sembelihannya telah sempurna dan ia sesuai dengan sunnah kaum muslimin.” (HR. Bukhari no. 5545).
Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum waktunya maka tidak sah dan wajib menggantinya
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” (HR. Bukhari no. 5546)
عَنْ جُنْدَبٍ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ النَّحْرِ صَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ »
Dari Jundab, ia menyaksikan Nabi ﷺ lalu beliau berkhutbah dan bersabda, "Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied, hendaklah ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut ‘bismillah’.” (HR. Bukhari no. 7400 dan Muslim no. 1960)
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (13: 110) berkata, “Adapun waktu berqurban, hendaklah qurban itu disembelih setelah shalat bersama imam. Demikian qurban tersebut dikatakan sah. Sebagaimana kata Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat bahwa udhiyah (qurban) tidaklah boleh disembelih sebelum terbit fajar pada hari Idul Adha.” Sedangkan waktu setelah itu (setelah terbit fajar), para ulama berselisih pendapat. Imam Syafi’i, Daud (Azh-Zhahiriy), Ibnul Mundzir dan selain mereka berpendapat bahwa waktu penyembelihan qurban itu masuk jika matahari telah terbit dan lewat sekitar shalat ‘Ied dan dua khutbah dilaksanakan. Jika qurban disembelih setelah waktu itu, sahlah qurbannya, baik imam melaksanakan shalat ‘Ied ataukah tidak, baik imam melaksanakan shalat Dhuha ataukah tidak, begitu pula baik yang melaksanakan qurban adalah penduduk negeri atau kampung atau bawadi atau mushafir, juga baik imam telah menyembelih qurbannya ataukah belum. …”
Akhir Waktu
Akhir Waktu
Waktu penyembelihan hewan qurban adalah 4 hari, hari Idul Adha dan tiga hari sesudahnya. Waktu penyembelihannya berakhir dengan tenggelamnya matahari di hari keempat yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Ini adalah pendapat ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Atha` bin Abi Rabah, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi'i.
Rasulullah ﷺ bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ تَعَالَى
"Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala." (HR. Muslim no. 1141)
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ (رواه الدارقطنى و البيهقى)
"Semua hari-hari Tasyriq adalah (waktu) menyembelih qurban.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi di dalam As-Sunanul Kubro).
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hari Tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha (yaitu 11, 12, 13 Dzulhijjah). Disebut tasyrik karena tasyrik itu berarti mendendeng atau menjemur daging qurban di terik matahari. Dalam hadits disebutkan, hari tasyrik adalah hari untuk memperbanyak dzikir yaitu takbir dan lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 18).
Do'a Menyembelih Hewan Qurban
Orang yang berqurban yang pandai menyembelih disunnahkan menyembelih sendiri binatang qurbannya.
Inilah do'a yang dibaca sesaat sebelum hewan qurban kita disembelih. Do'a ini dibaca dengan harapan Allah menerima ibadah qurban kita.
اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ يَا كَرِيْمُ
Allahumma hadzihî minka wa ilaika, fataqabbal minni ya karim
"Ya Tuhanku, hewan ini adalah nikmat dari-Mu. Dan dengan ini aku bertaqarrub kepada-Mu. Karenanya hai Tuhan Yang Maha Pemurah, terimalah taqarrubku.”
Do'a ini bisa kita temukan antara lain di buku Irsyadul Anam fi Tarjamati Arkanil Islam karya Sayyid Utsman bin Yahya atau Tausyih ala Ibni Qasim karya Syeikh Nawawi bin Umar Banten.
Namun demikian ada sejumlah do'a yang dianjurkan ketika kita mengambil ancang-ancang untuk menyembelih hewan qurban. Hal ini ditunjukkan oleh Syeikh Nawawi Banten dalam Tausyih ala Ibni Qasim.
Menurutnya, sebelum kita menghadapkan hewan qurban ke kiblat dan siap menggoreskan senjata tajam, kita dianjurkan membaca bismillah, lengkap dan sempurnanya bismillahirrahmanirrahim. Setelah itu kita dianjurkan membaca shalawat untuk Rasulullah ﷺ, bertakbir tiga kali. Setelah menghadap kiblat dan sesaat sebelum menyembelih, kita dianjurkan membaca do'a menyembelih seperti di atas.
Berikut ini kami urutkan bacaan do'anya.
1. Baca “Bismillah”
بِسْمِ اللهِ
“Dengan nama Allah”
Lebih sempurna “Bismillahirrahmanirrahim”
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang”
2. Baca shalawat untuk Rasulullah ﷺ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad.
“Tuhanku, limpahkan rahmat untuk Nabi Muhammad ﷺ dan keluarganya.”
3. Baca takbir tiga kali dan tahmid sekali
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamd
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji bagi-Mu.”
4. Baca do'a menyembelih
اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ يَا كَرِيْمُ
Allahumma hadzihî minka wa ilaika, fataqabbal minnî ya karîm
“Ya Tuhanku, hewan ini adalah nikmat dari-Mu. Dan dengan ini aku bertaqarrub kepada-Mu. Karenanya hai Tuhan Yang Maha Pemurah, terimalah taqarrubku.”
Adapun takbir pada poin ketiga bisa juga dibaca sebelum bismillah pada poin pertama. Demikian do'a yang dianjurkan dalam rangkaian upacara penyembelihan hewan qurban. Keterangan ini bisa ditemukan antara lain di buku Tausyih ala Ibni Qasim karya Syeikh Nawawi Banten. Wallahu a‘lam.
Jika orang yang berqurban tidak pandai menyembelih, hendaknya dia menghadiri dan menyaksikan penyembelihannya.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
"Wahai Fathimah, beranjaklah kepada hewan qurbanmu, lalu saksikanlah, sebab semua dosa-dosa yang telah engkau perbuat akan diampuni pada saat tetes pertama darahnya.” (Al-Mustadrak, no. 7524, 7525)
Imam An-Nawawi berkata,
"…dianjurkan jika dia (orang yang berqurban) mewakilkan (kepada orang lain untuk menyembelih), hendaknya dia menghadiri penyembelihan itu. Dalil seluruhnya dalam kitab…” (Al-Majmu’, juz 8 hlm 405)
Wallahu a'lam bish-shawab.
يَا فَاطِمَةُ قَوْمِي إِلَى أُضْحِيَّتِكَ فَاشْهَدِيهَا فَإِنَّهُ يُغْفَرُ لَكِ عِنْدَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا كُلُّ ذَنْبٍ عَمِلْتِيهِ
"Wahai Fathimah, beranjaklah kepada hewan qurbanmu, lalu saksikanlah, sebab semua dosa-dosa yang telah engkau perbuat akan diampuni pada saat tetes pertama darahnya.” (Al-Mustadrak, no. 7524, 7525)
Imam An-Nawawi berkata,
وَيُسْتَحَبُّ إذَا وَكَّلَ أَنْ يَحْضُرَ ذَبْحَهَا وَدَلِيلُ الْجَمِيعِ فِي الْكِتَابِ
"…dianjurkan jika dia (orang yang berqurban) mewakilkan (kepada orang lain untuk menyembelih), hendaknya dia menghadiri penyembelihan itu. Dalil seluruhnya dalam kitab…” (Al-Majmu’, juz 8 hlm 405)
Pembagian Daging Qurban
Ulama membagi ibadah qurban ke dalam dua jenis: ibadah qurban yang dinadzarkan (wajib) dan ibadah qurban yang tidak dinadzarkan (sunnah). Orang yang berqurban nadzar tidak boleh mengambil sedikit pun daging qurbannya. Sedangkan orang yang berqurban sunnah justru dianjurkan memakan sebagian dari daging qurbannya.
Orang yang berqurban sunnah berhak memakan maksimal sepertiga dari daging qurbannya sebagaimana keterangan berikut ini:
“(Orang yang berqurban tidak boleh memakan sedikit pun dari ibadah qurban yang dinadzarkan [wajib]) tetapi ia wajib menyedekahkan seluruh bagian hewan qurbannya. (Ia memakan) maksudnya orang yang berqurban dianjurkan memakan (daging qurban sunnah) sepertiga bahkan lebih sedikit dari itu,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah al-Asadiyyah: 2014 M/ 1434 H] hlm 207).
Orang yang berqurban sunnah hanya boleh mengambil bagiannya yang maksimal sepertiga itu. Ia tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan qurbannya. Ini berlaku bagi qurban nadzar dan qurban sunnah.
Orang yang berqurban (tidak boleh menjual daging qurban) sebagian dari daging, bulu, atau kulitnya. Maksudnya, ia haram menjualnya dan tidak sah baik itu ibadah qurban yang dinadzarkan (wajib) atau ibadah qurban sunnah,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah al-Asadiyyah: 2014 M/ 1434 H] hlm 207).
Adapun daging qurban sendiri diberikan kepada orang-orang fakir dan miskin dalam bentuk daging segar. Berbeda dari ibadah aqiqah, daging qurban dibagikan dalam kondisi daging mentah sebagaimana keterangan berikut ini:
“Orang yang berqurban wajib (memberi makan) dari sebagian hewan qurban sunnah (kepada orang fakir dan miskin) dengan jalan penyedekahan dagingnya yang masih segar. Menjadikan dagingnya sebagai makanan yang dimasak dan mengundang orang-orang fakir agar mereka menyantapnya tidak memadai sebagai ibadah qurban. Yang utama adalah menyedekahkan semua daging qurban kecuali sesuap, dua suap, atau beberapa suap,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah al-Asadiyyah: 2014 M/ 1434 H] hlm 208).
Sebagian ulama berpendapat bahwa daging qurban dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk orang miskin, sepertiga untuk orang kaya, dan sepertiga untuk orang yang berqurban. Tetapi, ibadah qurban yang utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali memakan sedikit daging itu untuk mendapatkan berkah ibadah qurban.
Orang yang berqurban sunnah berhak memakan maksimal sepertiga dari daging qurbannya sebagaimana keterangan berikut ini:
ولا يأكل المضحي شيئا من الأضحية المنذورة) بل يتصدق وجوبا بجميع أجزائها (ويأكل) أي يستحب للمضحي أن يأكل (من الأضحية المتطوع بها) ثلثا فأقل
“(Orang yang berqurban tidak boleh memakan sedikit pun dari ibadah qurban yang dinadzarkan [wajib]) tetapi ia wajib menyedekahkan seluruh bagian hewan qurbannya. (Ia memakan) maksudnya orang yang berqurban dianjurkan memakan (daging qurban sunnah) sepertiga bahkan lebih sedikit dari itu,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah al-Asadiyyah: 2014 M/ 1434 H] hlm 207).
Orang yang berqurban sunnah hanya boleh mengambil bagiannya yang maksimal sepertiga itu. Ia tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan qurbannya. Ini berlaku bagi qurban nadzar dan qurban sunnah.
ولا يبيع) المضحي (من الأضحية) شيئا من لحمها أو شعرها أو جلدها أي يحرم عليه ذلك ولا يصح سواء كانت منذورة أو متطوعا بها
“Orang yang berqurban (tidak boleh menjual daging qurban) sebagian dari daging, bulu, atau kulitnya. Maksudnya, ia haram menjualnya dan tidak sah baik itu ibadah qurban yang dinadzarkan (wajib) atau ibadah qurban sunnah,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah al-Asadiyyah: 2014 M/ 1434 H] hlm 207).
Adapun daging qurban sendiri diberikan kepada orang-orang fakir dan miskin dalam bentuk daging segar. Berbeda dari ibadah aqiqah, daging qurban dibagikan dalam kondisi daging mentah sebagaimana keterangan berikut ini:
ويطعم) وجوبا من أضحية التطوع (الفقراء والمساكين) على سبيل التصدق بلحمها نيئا فلا يكفي جعله طعاما مطبوخا ودعاء الفقراء إليه ليأكلوه والأفضل التصدق بجميعها إلا لقمة أو لقمتين أو لقما
“Orang yang berqurban wajib (memberi makan) dari sebagian hewan qurban sunnah (kepada orang fakir dan miskin) dengan jalan penyedekahan dagingnya yang masih segar. Menjadikan dagingnya sebagai makanan yang dimasak dan mengundang orang-orang fakir agar mereka menyantapnya tidak memadai sebagai ibadah qurban. Yang utama adalah menyedekahkan semua daging qurban kecuali sesuap, dua suap, atau beberapa suap,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah al-Asadiyyah: 2014 M/ 1434 H] hlm 208).
Sebagian ulama berpendapat bahwa daging qurban dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk orang miskin, sepertiga untuk orang kaya, dan sepertiga untuk orang yang berqurban. Tetapi, ibadah qurban yang utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali memakan sedikit daging itu untuk mendapatkan berkah ibadah qurban.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber:
http://jombang.nu.or.id/apa-dan-bagaimana-kurban/
http://www.nu.or.id/post/read/80735/hukum-makna-jenis-hewan-dan-ketentuan-ibadah-kurban
http://www.nu.or.id/post/read/71043/ini-doa-lengkap-menyembelih-hewan-kurban
https://www.nu.or.id/post/read/94554/ini-ketentuan-pembagian-daging-kurban
http://jombang.nu.or.id/apa-dan-bagaimana-kurban/
http://www.nu.or.id/post/read/80735/hukum-makna-jenis-hewan-dan-ketentuan-ibadah-kurban
http://www.nu.or.id/post/read/71043/ini-doa-lengkap-menyembelih-hewan-kurban
https://www.nu.or.id/post/read/94554/ini-ketentuan-pembagian-daging-kurban
Terimakasih sudah berkunjung & berbagi. ( Lintang Sanga )