Home » » Katakanlah Aku Beriman Pada Allah, Kemudian Istiqamahlah

Katakanlah Aku Beriman Pada Allah, Kemudian Istiqamahlah

Baca Juga


Syarah Hadits: “Katakanlah aku beriman pada Allah, kemudian istiqamahlah! [1]

عن سفيان بن عبد الله رضي الله عنه قال: قلت: يارسول الله! قل لي في الاسلام قولا, لا أسأل عنه أحدا غيرك؟. قال: “قل آمنت بالله ثم استقم” رواه مسلم

Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: aku berkata Wahai Rasulullah, katakanlah padaku tentang Islam dengan sebuah perkataan yang mana saya tidak akan menanyakannya kepada seorangpun selainmu. Nabi menjawab, “Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)

Penjelasan :

Redaksi: Katakanlah padaku tentang Islam dengan sebuah perkataan yang mana saya tidak akan menanyakannya kepada seorangpun selainmu.

Menunjukkan bahwa Sufyan meminta dari beliau untuk diajarkan suatu ungkapan yang universal/menyeluruh tentang ajaran Islam, yang mana tidak perlu lagi ada ungkapan lainnya. Maka Nabi pun menjawabnya dengan bersabda, “Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

قل: ربي الله, ثم استقم

“Katakanlah, Tuhanku adalah Allah, kemudian istiqamahlah.” Sabda beliau ini tentunya bersumber dari firman Allah Ta’ala,

إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزّل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التى كنتم توعدون

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” Kemudian mereka istiqamah/meneguhkan pendirian mereka. Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat : 30).

Mengenai tafsir “istiqamah” dalam penggalan ayat “Kemudian mereka istiqamah/meneguhkan pendirian mereka”, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu berkata, “Yaitu mereka tidak menyekutukan Allah (berbuat syirik) dengan sesuatupun”. Juga berkata, “Mereka tidak menoleh kepada Tuhan-tuhan lain selain Allah”.

Juga dalam riwayat lain: “Kemudian mereka istiqamah/meneguhkan pendirian mereka bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Tuhan mereka”. [2]

Mungkin ulama yang menafsirkan bahwa “istiqamah” adalah istiqamah di atas tauhid, memaknai tauhid ini sebagai tauhid yang sempurna, yang mana orang yang menerapkannya akan dibebaskan dari api neraka, yaitu tauhid yang mewujudkan hakikat “Laa ilaaha illallaah”. Sebab “Ilaah” merupakan Dzat yang wajib ditaati dan haram diselisihi perintah-Nya, sebagai bentuk khasy-yah (rasa takut), pengagungan, keseganan, cinta, harapan, tawakkal, dan do'a kepada-Nya.

Semua jenis maksiat mencoreng makna tauhid, karena maksiat merupakan bentuk ketundukan terhadap hawa nafsu, dan syaithan, sebagaimana dalam firman-Nya,

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya”. (QS. Al-Jaatsiyah : 23).

Tentang tafsir ayat ini, Al-Hasan dan selainnya berkata: “Yaitu orang yang tidaklah hawa nafsunya menginginkan sesuatu melainkan ia melakukannya”. Dan sifat ini sangat menafikan sikap istiqamah di atas tauhid.

Adapun redaksi riwayat: “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah“, maka maknanya begitu jelas sesuai konteksnya, karena menurut para salaf dan pengikut mereka dari kalangan ahli hadits (ahli sunnah); semua amalan shalih termasuk dalam bagian keimanan. Juga dalam firman Allah,

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِير

"Maka tetaplah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat bersama kamu. Dan janganlah kalian melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Hud : 112)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan beliau dan orang-orang yang bertaubat bersama beliau (para sahabat) untuk tetap istiqamah, dan agar tidak melewati batasan-batasan yang diperintahkan yang disebut dengan istilah kedurhakaan. Juga mengabarkan pada mereka bahwa Dia Maha Melihat dan Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Al-Qusyairi dan selainnya meriwayatkan dari seorang ulama bahwa ia melihat Nabi ﷺ dalam mimpi, ia lalu bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, engkau pernah bersabda, Yang membuatku beruban adalah Surat Hud dan surat-surat yang semisalnya [3]. Lalu ayat apakah yang membuatmu beruban? Beliau menjawab, “Firman Allah Ta’ala: Maka tetaplah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu”.

Hakikat istiqamah adalah meniti di atas jalan yang lurus, yaitu agama yang benar, tanpa berpaling darinya. Ia mencakup semua jenis amalan ketaatan, baik yang lahir ataupun batin, serta meninggalkan semua jenis larangan. Dengan makna inilah, wasiat dalam hadits ini begitu universal dan mencakup seluruh bagian agama ini.

[1]. Diterjemahkan dari Kitab “Mukhtashar Jami’ Ulum Wal Hikam” oleh Syaikh Muhammad Al-Muhanna
[2]. Dengan istiqamah ini, seorang hamba akan merasa aman dari rasa takut akan cepatnya ajal menjemput, sehingga ia selalu siap untuk menghadapi ajal tersebut di setiap waktu, karena seorang hamba tidak akan pernah tahu kapan ia akan diwafatkan. (Syaikh Abdul’Aziz al-Tharifi).
[3]. Hadits “Yang telah membuatku beruban adalah Surat Hud, Al-Waqi’ah, Al-Mursalaat, An-Naba’, dan Al-Kuwwirat” diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (3297), dan Hakim (2/476), dan Hakim berkata: “Shahih sesuai syarat Bukhari”. Adapun kisah mimpi seorang ulama ini, maka disebutkan juga oleh As-Suyuthi dalam kitab Ad-Durr dalam tafsir surat Hud, dan ia menisbatkan kisahnya pada Imam Baihaqi dalam Kitabnya “Syu’abul-Iman”.

Sumber: http://wahdah.or.id/

Terimakasih sudah berkunjung & berbagi. ( Lintang Sanga )


Previous
« Prev Post

Cari Artikel di Blog Ini