Baca Juga
أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
”Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru. Setiap perbuatan baru adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” (HR Ibnu Majah)
Mengkaji bid`ah sama artinya dengan mengkaji hadits ini, hadits yang sering dijadikan andalan sebagian orang untuk saling menuduh bid`ah dan melarang segala bentuk hal baru yang tidak dilakukan di zaman Rasul ﷺ.
Yah.. tak heran karena jika dilihat sepintas hadits ini menyatakan bahwa semua hal baru (bid’ah) adalah sesat. Maka banyak orang menganggap muslim yang taat harus harus memiliki sifat alergi pada hal-hal baru. Pandangan seperti ini bukan hanya dilontarkan oleh orang-orang yang membenci Islam, bahkan mereka yang mengaku sebagai pembela Islam banyak yang melontarkan pendapat ini. Saking alerginya dengan hal baru, setiap ada hal-hal yang mereka anggap tak pernah ada di zaman Rasul, tak segan-segan mereka nyatakan sebagai bid’ah. Maulid bid’ah, Tahlilan bid’ah, Shalawat Badar bid`ah, bid`ah, bid`ah dan bid`ah.. yang lebih mengherankan diantara mereka masih ada yang menyatakan bahwa speaker, Tape, Radio sampai celana panjang dan sendok sebagai bid`ah yang menyesatkan. Maka lengkaplah sudah titel jumud dan terbelakang disandang oleh umat Islam. Herannya ulama-ulama seperti ini malah merasa bangga dengan titel terbelakang ini, merasa terhormat dengan keterasingannya dan pendapat-pendapatnya yang syadz (asing). Mereka menyangka dirinya adalah ghuraba` (orang-orang asing) yang disebut Rasul dalam haditsnya,
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam dimulai dalam keterasingan dan akan kembali asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)
Akan tetapi lupa sabda Rasul,
إِنَّ أُمَّتِى لَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ. سنن ابن ماجه
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kalian melihat pertentangan maka ikutilah kelompok terbesar.” (HR. Ibnu Majah)
Mereka merasa telah membela Islam padahal karena sebabnya umat Islam terpecah saling tuduh bid`ah satu sama lain. Mereka merasa telah menyeru kepada Islam padahal sebenarnya mereka membuat orang lari dari Islam.
Bukan ini yang dimaksud Rasul dalam haditsnya, justru beliau menganjurkan umatnya untuk membuat inisiatif dan bersikap kreatif dalam melakukan kebaikan (1), Rasulullah ﷺ bersabda,
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء
“Barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam, maka dia akan terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun” (HR. Muslim)
Atas dasar inilah para Sahabat, Thabi'in dan para Ulama Salaf berani untuk menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak dilakukan oleh Rasul, tentunya setelah melakukan pertimbangan yang sangat matang dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dalam Islam.
Khalifah Abu Bakar berani memerangi mereka yang menolak zakat, dan mengumpulkan Al-Qur'an, berwasiat agar yang memandikannya ketika wafat adalah istrinya. Sayyidina Umar mengumpulkan orang untuk shalat Tarawih berjama`ah, menerangi masjid dengan lampu-lampu, dan melakukan banyak hal baru dalam kepemerintahannya. Sayyidina Utsman membukukan Al-Qur'an, memberi gaji kepada muadzin dan menggagas ide untuk melakukan dua adzan dalam shalat Jum`at. Sayyidina Ali membolehkan shalat qabliyah dan ba’diyah pada shalat Ied, menyusun do'a baru: يا كهيعص اغفر لي (Wahai Kaf Ha Ya`Ain Shod, ampunilah aku), menugaskan Abu Mas`ud Al-Badri menjadi imam orang-orang lemah dalam shalat Ied di masjid, dan memerintahkan Abul Aswad Ad-Duali membuat kaedah-kaedah Ilmu Nahwu.
Pemberian titik, tanda juz, waqaf, dan harakat dalam Al-Qur'an baru dilakukan di zaman Dinasti Umayyah. Pembukuan dan pengkodefisian Hadits, pembukuan cabang-cabang ilmu syari`ah mulai dari nahwu, fiqh, tafsir, ushul fiqh, balaghah, dan sebagainya. Pendirian menara, madrasah-madrasah, perpustakaan Islam. Perenovasian Ka`bah, dan perluasan Masjid Nabawi. Dan masih banyak lagi hal baru yang dilakukan para Ulama untuk kemajuan Islam sehingga Islam menjadi pusat peradaban pada masanya. Tak ada satu pun dari kita yang menganggap hal yang mereka lakukan sebagai bid`ah, justru kita semua sepakat bahwa apa yang mereka lakukan adalah jasa yang sangat besar artinya bagi umat Islam. Mereka bukan tidak pernah mendengar bahwa Rasul pernah bersabda, كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (setiap bid`ah adalah sesat). Justru mereka yang paling mengetahui mengenai maksud bid`ah dalam sabda Rasul tersebut sehingga mereka berani untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul.
Definisi Bid`ah
Bahaya bid`ah penting untuk diketahui, namun ada hal lain yang tak kalah penting untuk diketahui yaitu pengertian bid`ah. Banyak yang saling tuduh bid`ah karena perbedaan cara ibadah padahal yang mereka tuduh bid`ah sebenarnya hanyalah perbedaan madzhab, atau perbedaan ulama dalam masalah fiqhiyah. Seperti masalah terjemah khutbah, qunut, menggerakkan jari dalam tahiyyat, bilangan Tarawih dll. Ada juga yang begitu tekun melakukan sesuatu dianggap ibadah, tapi pada kenyataannya apa yang dia lakukan adalah bid`ah yang perlu dijauhi. Untuk menghindari hal-hal seperti ini kita harus mengetahui apa itu bid`ah?
Jika kata bid`ah disebut, maka yang dimaksud bisa dua kemungkinan. Yang pertama adalah bid`ah lughowiah (secara bahasa) atau bid`ah syar`iyah (secara syari`at) (2).
Bid`ah lughowiah
Yang dimaksud dengan bid`ah secara bahasa hal yang baru yang belum pernah ada sebelumnya. baik berupa hal baik atau hal yang buruk, berhubungan dengan hal duniawi seperti alat-alat komunikasi dan transportasi modern atau berhubungan dengan masalah agama seperti pembukuan Al-Qur'an, Hadits dll. Semuanya bisa dikatakan bid`ah jika dilihat dari segi bahasa. Oleh karena itulah Sayyidina Umar berkata mengenai shalat Tarawih berjama'ah : نعمت البدعة هذه (Inilah sebaik-baiknya bid`ah) (3). Ini karena dulunya Rasul dan para Sahabat melakukan shalat Tarawih sendiri-sendiri. Jadi adanya shalat Tarawih dilakukan dengan teratur dalam satu imam merupakan satu bid'ah (hal baru) di masa itu.
Kalau dilihat dari segi ini maka kata bid`ah tidak selalu berkonotasi negatif, terkadang baik dan terkadang jelek. Akan tetapi dalam penerapannya jika lafadz bid`ah disebut secara mutlaq tanpa embel-embel maka yang dimaksud adalah bid`ah yang tercela (bid`ah syar`iyah). Lain halnya jika kata bid`ah tersebut disandingkan dengan kata lain seperti perkataan “bid`ah hasanah” atau lainnya, maka barulah yang dimaksud adalah bid`ah dari segi bahasa (4).
Maksud bid`ah syar'iyah adalah makna bid`ah dipandang dari kacamata syari'at. Sebagai perbandingan: makna shalat secara bahasa artinya adalah do'a, sedangkan makna shalat secara syari'at adalah perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ini menunjukkan ada beda antara makna bahasa dan makna syari'at. Begitulah pula mengenai bid'ah.
Secara bahasa makna bid'ah adalah hal baru yang belum pernah ada sebelumnya baik hal baru itu terjadi di masa Rasulullah ﷺ atau sesudah masa Beliau ﷺ. Namun jika ditinjau dari segi syari'at, bid`ah adalah hal baru yang tidak ada di masa Rasulullah (4,5). Namun, hal ini pun butuh kepada tinjauan syar’i untuk menentukan boleh atau tidaknya. Semua hal baru yang ada setelah masa Rasulullah ﷺ dan bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an atau Hadits itulah bid'ah yang tidak boleh dilakukan, sedangkan hal yang baru setelah zaman Rasulullah yang masih bernaung di bawah nash Al-Qur’an dan Al-Hadits maka bid’ah tersebut boleh dilakukan .
Jadi, tidak semua bidah syar'iyah/ hal baru yang tidak dilakukan Rasulullah ﷺ adalah tercela. Terkadang Rasulullah meninggalkan sesuatu walaupun sangat ingin melakukannya karena takut akan memberatkan umatnya atau alasan lainnya (5). Yang tercela adalah perbuatan atau keyakinan yang menyalahi hukum atau keyakinan yang telah ada, atau tidak memiliki landasan hukum baik secara umum atau secara parsial, kemudian diklaim sebagai ajaran agama(6), seperti keyakinan pluralitas beragama (menganggap semua agama sama), faham Syiah, Trinitas Tauhid, membuat hukum-hukum baru tanpa dasar, dll.
Secara sederhana pengertian bid`ah syar`iyah yang buruk adalah segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/ faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain.
Bid`ah inilah yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan bid’ah syar’iyah yang baik adalah segala bentuk perbuatan yang masih berlandaskan terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits di bawah naungan firman Allah,
وافعلوا الخير لعلكم تفلحون
“Kerjakanlah kebaikan maka niscaya kalian akan sukses”.
Bid’ah inilah yang boleh dilakukan menurut syari’at.
Pembagian Bid`ah
Bid`ah ditinjau dari segi syari'at memiliki dua jenis pembagian. Yang pertama yang membagi bid`ah menjadi dua macam, ini seperti apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi`i, Imam Nawawi dan imam-imam lainnya, yaitu :
- Bid`ah Dholalah, yaitu hal baru yang bertentangan dengan Al-Qur'an, Hadits atau Ijma` (kesepakatan Ulama). Seperti shalat Shubuh tiga raka`at atau merubah lafadz-lafadz adzan dll.
- Bid`ah Maqbulah (diterima), yaitu hal baru yang berisi kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari`at, maka ini tidak ada khilaf mengenai diperbolehkannya. Seperti shalat Tarawih berjama'ah yang merupakan inisiatif Sayyidina Umar.
Yang kedua adalah Ulama yang membagi bid`ah menjadi lima macam, Pembagian ini dipopulerkan oleh Imam Izuddin bin Abdus Salam dan banyak dinukil dalam kitab-kitab mutaakhirin, Yaitu :
- Wajib, seperti belajar ilmu gramatikal bahasa Arab (nahwu) untuk memahami Al-Qur'an dan Hadits.
- Haram, seperti Madzhab Qadiriyah, dll.
- Sunnah, seperti membangun lembaga pendidikan, dan shalat Tarawih berjama'ah.
- Mubah, seperti berjabat tangan setelah shalat.
- Makruh, seperti menghiasi masjid atau Al-Qur'an.
Metode yang digunakan oleh Imam `Izuddin dalam penggolongan ini adalah dengan meninjau pada kaidah hukum yang telah ada. Jika hal baru tersebut tercakup dalam kaidah wajib maka hukumnya wajib, jika masuk kaidah sunnah maka hukumnya sunnah, dan seterusnya. Sebagai contoh belajar bahasa Arab jika bertujuan untuk bisa memahami apa yang wajib dia fahami dari syari`at maka hukumnya pun menjadi wajib.(7)
Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa umumnya Ulama tidak membeda-bedakan antara bid`ah dalam masalah agama atau dalam masalah dunia.
Sebagian Ulama ada yang mengingkari pembagian ini dan menyatakan bahwa tidak ada bid`ah dalam agama kecuali bid`ah yang sesat, seperti Imam Syatibi dalam kitab I`tishamnya (8). Sebagian lagi menyatakan bahwa bid`ah yang diperbolehkan adalah bid`ah dalam hal keduniaan saja seperti membuat alat-alat baru yang belum pernah ada di zaman Rasul, dll.
Pendapat seperti ini selain menyalahi pendapat mayoritas Ulama Ahlussunnah juga menyalahi apa yang dilakukan oleh para Sahabat serta Thabi'in. Karena di antara mereka banyak yang melakukan hal baru dalam agama yang tidak diajarkan Rasulullah. Seperti jama'ah Tarawih yang diprakarsai oleh Sayyidina Umar, Adzan kedua dalam shalat Jum`at yang merupakan inisiatif Sayyidina Utsman, memberi titik, harakat serta tanda waqaf dan tanda-tanda lainnya dalam Al-Qur'an yang baru dilakukan di masa Dinasti Umayyah dan diakui oleh para Thabiin (bahkan ada yang menyatakan bahwa orang pertama yang memberi tanda dalam Al-Qur'an adalah Al-Hajjaj bin Yusuf (9), penguasa dzalim di masa Bani Umayyah), pengkodefikasian Hadits serta pembukuannya dll. Semua adalah hal baru dalam agama dan tidak pernah diajarkan Rasul. Apabila kita katakan bahwa semua hal baru dalam agama adalah bid`ah yang menyesatkan maka berarti secara tidak langsung kita telah menuduh para Sahabat dan Thabi'in telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka ada yang sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para Sahabat Nabi ﷺ yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang Al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah ﷺ.
Mereka Yang Mengatakan Mengenai Pembagian Bid`ah
Yang pertama kali membagi bid`ah ke dalam dua hal yaitu yang baik dan yang buruk, adalah Rasulullah ﷺ sendiri. Beliau bersabda,
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء (رواه مسلم )
“Barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam, maka dia akan terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun” (HR Muslim)
Pada hadits ini telah dikaji oleh para Ulama bahwasanya isi dari hadits menunjukkan ada سنة حسنة dan ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً yang maknanya adalah gagasan baik dan gagasan jelek sesuai dengan devinisi bid’ah secara syar’i menunjukkan bahwa ada بدعة حسنة dan بدعة ﺳَيئة .
Hadits ini dengan jelas mendorong kita untuk berinisiatif dengan prakarsa yang baik dan bermanfaat agar bisa diamalkan oleh kita dan orang-orang setelah kita, sekaligus melarang keras untuk menggagas hal yang buruk yang bisa merugikan kita dan orang-orang setelah kita nantinya (10). Rasulullah dalam hadits ini tidak membatasi inisiatif tersebut kepada hal-hal dunia saja. Mereka yang mengatakan bahwa hadits ini khusus mengenai gagasan dalam urusan dunia, maka telah mengada-ngada karena urusan dunia jika diamalkan tidak mendatangkan pahala atau dosa.
Sebagian mereka yang menentang pembagian bid`ah mengatakan bahwa maksud hadits ini bukan seperti dzahirnya akan tetapi maksudnya adalah :
من أحيا سنة من سنة الرسول صلى الله عليه وسلم فله ثوابها وثواب من اتبعه بها
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnah Rasulullah maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya”
Jadi menurut mereka maksud gagasan tersebut haruslah gagasan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.
Pendapat yang mereka ajukan tidak sesuai dengan keumuman lafadz yang ada dalam hadits tersebut, memang hadits tersebut datang sebab inisiatif salah seorang Anshor untuk memberikan sedekah kepada salah satu kaum Arab yang datang kepada Nabi, kemudian orang-orang mulai berdatangan untuk memberikan sedekah mengikuti jejak orang Anshor tersebut (11). Akan tetapi sesuai kaidah yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab (العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب).
Mungkin pendapat seperti ini muncul karena ada sedikit persamaan lafadz antara hadits di atas dengan hadits ihyau sunnah yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, yaitu :
أَنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِى فَإِنَّ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ يَرْضَاهَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا أخرجه الترمذي في سننه كتاب العلم
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah daripada sunnahku yang telah mati setelahku maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkanya tanpa dikurangi sedikitpun, Barangsiapa yang membuat bid`ah dengan bid`ah yang dholalah yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya maka baginya dosa orang-orang yang mengamalkanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”
Kedua hadits ini meskipun agak sama lafadznya akan tetapi terjadi dalam dua peristiwa berbeda. Selain itu, sebenarnya hadits ini justru memperkuat pendapat bahwa bid`ah tidak seluruhnya menyesatkan, karena dalam hadits tersebut Rasul membatasi bid`ah yang dilarang hanya kepada bid`ah dholalah saja.
Kemudian Sahabat pertama yang menyatakan bahwa bid`ah tidak selalu buruk adalah Sayyidina Umar yang mengatakan ketika melihat orang-orang melakukan shalat Tarawih berjama`ah, نعمت البدعة هذه (Inilah sebaik-baiknya bid`ah). Juga perkataannya kepada Sayyidina Abu Bakar ketika menyarankan untuk mengumpulkan Al-Qur'an, Sayyidina Abu Bakar bertanya kepadanya “Bagaimana mungkin kamu melakukan apa yang tidak dilakukan Rasul.“ Sayyidina Umar berkata, “Demi Allah. Ini adalah hal yang baik“. Sedangkan penerapan pembagian bid`ah menjadi hal baik dan buruk sudah dimulai sejak zaman Khalifah Abu Bakar dengan perbuatannya mengumpulkan Al-Qur'an, dan penunjukkan Sayyidina Umar sebagai Khalifah setelahnya, padahal Rasulullah ﷺ sebelum wafat tidak menunjukkan seorangpun untuk menjadi khalifah (12).
Para Thabi`in telah menerapkan pembagian ini. Paling agungnya Thabi'in yang menyatakan bahwa bid`ah terbagi menjadi dua adalah Imam Syafi'i, beliau berkata,
المحدثات من الأمور ضربانأحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة،… ]البيهقي بإسناده في مناقب الشافعي
“Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al-Qur'an, Sunnah, Atsar, dan Ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka tidak ada khilaf bagi seorangpun mengenainya bahwa hal baru ini tidak tercela….(13)”
Lihatlah bagaimana Imam Syafi'i menyatakan bahwa tidak ada khilaf sedikitpun mengenai kebolehan hal baru yang baik, ini menunjukkan bahwa para Ulama di zaman Imam Syafi'i hampir seluruhnya telah memilah bid`ah kepada yang baik dan yang buruk.
Masih banyak lagi ulama Ahlussunnah yang membagi bid`ah (baik dalam agama atau selainnya), menjadi bid`ah yang bisa diterima dan bid`ah yang ditolak. Diantaranya Imam Izudin bin Abdussalam, Imam Ghazali, Imam Nawawi, Imam Subkhi, Imam Suyuthi, Imam Ibn Hajar, Imam Asy-Syaukhani dalam Nailul Author, Al-Qostholani dalam Irsyadus saari, Az-Zarqani dalam Syarah Muwatha, Al-Halabi, dan masih banyak Ulama lain yang tidak mungkin disebut satu per satu( 14). Rasulullah ﷺ telah bersabda,
إِنَّ أُمَّتِى لَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ. سنن ابن ماجه
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kalian melihat pertentangan maka ikutilah kelompok terbesar”
Oleh karena itulah, sebagian ulama mengatakan, taqlid kepada pendapat Ulama yang paling banyak lebih utama daripada taqlid kepada yang lebih senior.(15)
Hadits-Hadits Mengenai Bid`ah
Dalil andalan kaum yang mengingkari pembagian bid`ah adalah hadits riwayat Ibn Mas`ud, yaitu :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “ Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru. dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” (HR. Ibnu Majah)
Secara teksual memang hadits ini seolah melarang semua jenis bid`ah, melihat bahwa Rasul dalam hadits ini memakai kata كُلُّ yang artinya adalah semua. Akan tetapi Ulama berbeda pendapat mengenai maknanya terutama makna kalimat terakhir وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة.
Pertama, Ulama menyatakan bahwa bid`ah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah bid`ah yang harus ditinjau dengan kacamata syar`iyah, telah kita bahas bahwa memang semua bid`ah harus ditinjau dengan kacamata syar`iyah. Karena bid`ah syar`iyah artinya adalah bid`ah yang perlu ditinjau dengan syari'at, dengan demikian makna hadits tersebut adalah “setiap bid`ah yang bertentangan dengan syari'at adalah sesat“. Adapun yang tidak bertentangan maka diperbolehkan.
Kedua, Ada juga Ulama’ yang mengatakan bahwa kata كُلُّ بِدْعَةٍ dalam hadits di atas adalah kata umum akan tetapi dikhususkan pada sebagian hal saja (عام مخصوص) (17), yaitu bid`ah yang buruk saja, sehingga makna dari hadits ini adalah “setiap bid’ah yang buruk itu sesat”. Karena dalam bahasa Arab, kata كُلّ tidak selalu berarti seluruh, kadang memiliki arti kebanyakan atau sebagian. Pengartian seperti ini adalah lughat fasih yang banyak terdapat dalam banyak ayat dan hadits, diantaranya :
Al-Qur'an surat Al-Kahfi : 79
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
”Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena dihadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera“
Dalam ayat ini meskipun digunakan kata كُل akan tetapi yang dimaksud adalah perahu yang bagus saja (18), oleh karena itulah Nabi Khidir membuat aib dalam perahu agar tidak dirampas oleh raja tersebut.
Al Quran surat An-Naml 23
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu dan dia memiliki singasana yang besar”
Ayat ini menceritakan mengenai Ratu Balqis, dalam ayat ini meskipun terdapat kata كُل akan tetapi yang dimaksud adalah sebagian saja, buktinya Ratu Balqis tidak memiliki kerajaan Nabi Sulaiman.
Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ 30 :
ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻛُﻞَّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺣَﻲٍّ
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟْﺠَﺎﻥَّ ﻣِﻦ ﻣَّﺎﺭِﺝٍ ﻣِّﻦ ﻧَّﺎﺭٍ
“Dan Allah menciptakan jin dari percikan api yang menyala”. (QS. Ar-Rahman:15)
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.
Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari Al-Asy'ari berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “setiap mata berzina” (Musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/ semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Lagipula jika kita artikan kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ secara tekstual maka seharusnya semua hal baru yang tidak ada di zaman Rasul baik yang berhubungan dengan dunia atau yang berhubungan dengan agama adalah haram, karena Rasul dalam hadits tersebut mengatakan bid`ah secara mutlak. Akan tetapi jelas ini bukan yang dimaksud oleh Rasul. Dan tidak ada seorang Ulama pun yang menyatakannya.
Hadits lain yang juga sering dijadikan dalil pelarangan semua bentuk perbuatan yang tidak terdapat di zaman Rasul adalah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak” (HR. Muslim)
Para Ulama menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam Al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, Ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini, yaitu :
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar dalil-dalil syar’i yang kuat, baik yang parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Namun jika tidak ada dalil yang dapat dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan pada ajaran Ulama Salaf (Ulama pada abad l, ll dan lll Hijriyah). Apabila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash Al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong wajib. Dan begitu seterusnya.
Dari uraian di atas setidaknya kita bisa memahami, bahwa hal baru tidak selalu diidentikkan dengan kesesatan. Islam bukan agama yang kaku, akan tetapi selalu fleksibel dengan perkembangan zaman dan keadaan. Seorang mukmin hendaknya bisa memanfaatkan keadaan dan membuat inovasi cemerlang untuk memajukan agamanya, jika dulu para Sahabat berperang dengan kuda dan pedang maka bukan berarti kita pun harus berperang dengannya. Jika dahulu Nabi berdakwah dengan lisan dan tulisan, bukan berarti kita tak boleh menggunakan sarana komunikasi lain dalam berdakwah. akan tetapi juga jangan ngawur dalam membuat inovasinya, semua harus dalam rel yang sesuai dengan nafas syari'at, dan hal tersebut tidak mungkin kita ketahui kecuali dengan belajar syari'at terlebih dahulu. Jangan sampai karena kebodohan kita, kita dengan sembrono menuduh bid`ah suatu kaum padahal mereka adalah para ahli ibadah.
Referensi
(1)شرح النووي على مسلم – (3 / 461(
)مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَام سُنَّة حَسَنَة فَلَهُ أَجْرهَا (إِلَى آخِره ، فِيهِ : الْحَثّ عَلَى الِابْتِدَاء بِالْخَيْرَاتِ وَسَنّ السُّنَن الْحَسَنَات ، وَالتَّحْذِير مِنْ اِخْتِرَاع الْأَبَاطِيل وَالْمُسْتَقْبَحَات ، وَسَبَب هَذَا الْكَلَام فِي هَذَا الْحَدِيث أَنَّهُ قَالَ فِي أَوَّله : ( فَجَاءَ رَجُل بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا ، فَتَتَابَعَ النَّاس ) وَكَانَ الْفَضْل الْعَظِيم لِلْبَادِي بِهَذَا الْخَيْر ، وَالْفَاتِح لِبَابِ هَذَا الْإِحْسَان . وَفِي هَذَا الْحَدِيث تَخْصِيص قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كُلّ مُحْدَثَة بِدْعَة وَكُلّ بِدْعَة ضَلَالَة ” ، وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة ، وَقَدْ سَبَقَ بَيَان هَذَا فِي كِتَاب صَلَاة الْجُمُعَة ، وَذَكَرْنَا هُنَاكَ أَنَّ الْبِدَع خَمْسَة أَقْسَام : وَاجِبَة وَمَنْدُوبَة وَمُحَرَّمَة وَمَكْرُوهَة وَمُبَاحَة
(2)تحفة الأحوذي – (ج 6 / ص 475)
وَفِي رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ : وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ . قَالَ الْحَافِظُ اِبْنُ رَجَبٍ فِي كِتَابِ جَامِعِ الْعُلُومِ : وَالْحِكَمِ فِيهِ تَحْذِيرٌ لِلْأُمَّةِ مِنْ اِتِّبَاعِ الْأُمُورِ الْمُحْدَثَةِ الْمُبْتَدَعَةِ وَأَكَّدَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ : كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ، وَالْمُرَادُ بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيعَةِ يَدُلُّ عَلَيْهِ ، وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ مِنْ الشَّرْعِ يَدُلُّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً فَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ مِنْ جَوَامِعِ الْكَلِمِ لَا يَخْرُجُ عَنْهُ شَيْءٌ وَهُوَ أَصْلٌ عَظِيمٌ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ ، وَأَمَّا مَا وَقَعَ فِي كَلَامِ السَّلَفِ مِنْ اِسْتِحْسَانِ بَعْضِ الْبِدَعِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْبِدَعِ اللُّغَوِيَّةِ لَا الشَّرْعِيَّةِ ، فَمَنْ ذَلِكَ قَوْلُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي التَّرَاوِيحِ نِعْمَتْ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ إِنْ كَانَتْ هَذِهِ بِدْعَةً فَنِعْمَتْ الْبِدْعَةُ ، وَمِنْ ذَلِكَ أَذَانُ الْجُمُعَةِ الْأَوَّلُ زَادَهُ عُثْمَانُ لِحَاجَةِ النَّاسِ إِلَيْهِ وَأَقَرَّهُ عَلِيٌّ وَاسْتَمَرَّ عَمَلُ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِ ، وَرُوِيَ عَنْ اِبْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ هُوَ بِدْعَةٌ وَلَعَلَّهُ أَرَادَ مَا أَرَادَ أَبُوهُ فِي التَّرَاوِيحِ اِنْتَهَى مُلَخَّصًا
(3)فتح الباري لابن حجر – (6 / 292)
قَوْله : ( قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ )فِي بَعْض الرِّوَايَات ” نِعْمَتْ الْبِدْعَةُ ” بِزِيَادَةِ تَاءٍ ، وَالْبِدْعَة أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْر مِثَالٍ سَابِقٍ ، وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْع فِي مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُونُ مَذْمُومَةً ، وَالتَّحْقِيقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْت مُسْتَحْسِنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلَّا فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ
(4)فتاوى السبكي – (3 / 240)
فَالْبِدْعَةُ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ لَفْظٌ مَوْضُوعٌ فِي الشَّرْعِ لِلْحَادِثِ الْمَذْمُومِ لَا يَجُوزُ إطْلَاقُهُ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَإِذَا قُيِّدَتْ الْبِدْعَةُ بِالْمُسْتَحَبَّةِ وَنَحْوِهِ فَيَجُوزُ ، وَيَكُونُ ذَلِكَ لِلْقَرِينَةِ ، وَيَكُونُ مَجَازًا شَرْعِيًّا حَقِيقَةً لُغَوِيَّةً
(4,5) الحاوي للفتاوي للسيوطي – (1 / 276)
لأن البدعة لم تنحصر في الحرام والمكروه بل قد تكون أيضا مباحة ومندوبة وواجبة قال النووي في التهذيب الأسماء واللغات البدعة في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي منقسمة إلى حسنة وقبيحة، وقال الشيخ عز الدين بن عبد السلام في القواعد البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرمة ومندوبة ومكروهة ومباحة قال والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة فإذا دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة أو في قواعد التحريم فهي محرمة أو الندب فمندوبة أو المكروه فمكروهة أو المباح فمباحة، وذكر لكل قسم من هذه الخمسة أمثلة إلى أن قال وللبدع المندوبة أمثلة: منها إحداث الربط والمدارس وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول ومنها التراويح والكلام في دقائق التصوف وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال في المسائل إن قصد بذلك وجه الله تعالى، وروى البيهقي بإسناده في مناقب الشافعي عن الشافعي قال المحدثات من الأمور ضربان (277)أحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة، وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان نعمت البدعة هذه يعني أنها محدثة لم تكن وإذا كانت فليس فيها رد لما مضى – هذا آخر كلام الشافعي
(5)صحيح البخاري – (1 / 313)
882– حدثنا يحيى بن بكير قال حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال أخبرني عروة أن عائشة أخبرته : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم خرج ذات ليلة من جوف الليل فصلى في المسجد فصلى رجال بصلاته فأصبح الناس فتحدثوا فاجتمع أكثر منهم فصلوا معه فأصبح الناس فتحدثوا فكثر أهل المسجد من الليلة الثالثة فخرج رسول الله صلى الله عليه و سلم فصلوا بصلاته فلما كانت الليلة الرابعة عجز المسجد عن أهله حتى خرج لصلاة الصبح فلما قضى الفجر أقبل على الناس فتشهد ثم قال ( أما بعد فإنه لم يخف علي مكانكم لكني خشيت أن تفرض عليكم فتعجزوا عنها ) . تابعه يونس
صحيح البخاري – (5 / 2105)
حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن ابن شهاب عن أبي أمامة بن سهل عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما عن خالد بن الوليد : أنه دخل مع رسول الله صلى الله عليه و سلم بيت ميمونة فأتي بضب محنوذ فأهوى إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم بيده فقال بعض النسوة أخبروا رسول الله صلى الله عليه و سلم بما يريد أن يأكل فقالوا هو ضب يا رسول الله فرفع يده فقلت أحرام هو يا رسول الله ؟ فقال ( لا ولكن لم يكن بأرض قومي فأجدني أعافه ) . قال خالد فاجتررته فأكلته ورسول الله صلى الله عليه و سلم ينظر
الاجتهاد – (1 / 114)
فان قالوا اكثر ما ادعيتموه انتفاء ورود الشرع بنصب قول العالم علما في حق العالم وعدم ورود الشرع لا يدل على تحريم التقليد فإن التحريم يفتقر الى دليل كما ان الاباحة تفتقر الى دليل فانتفاء دليل الاباحة لا يدل على التحريم
(6)مع العلوم والحكم – (ج 28 / ص 25)
فقوله – صلى الله عليه وسلم – : (( كلُّ بدعة ضلالة )) من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّين ، وهو شبيهٌ بقوله : (( مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ فَهو رَدٌّ )) ، فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة
عمدة القاري شرح صحيح البخاري – (ج 20 / ص 412)
قوله من أحدث في أمرنا هذا الإحداث في أمر النبي هو اختراع شيء في دينه بما ليس فيه مما لا يوجد في الكتاب والسنة قوله فهو رد أي مردود ومن باب إطلاق المصدر على اسم المفعول كما يقال هذا خلق الله أي مخلوقه وهذا نسج فلان أي منسوجه وحاصل معناه أنه باطل غير معتد به وفيه رد المحدثات وأنها ليست من الدين لأنه ليس عليها أمره والمراد به أمر الدين
(7) فتح الباري لابن حجر – (ج 20 / ص 330)
وَرَدَ فِي حَدِيث عَائِشَة ” مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمَرْنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدّ ” كَمَا تَقَدَّمَ شَرْحه وَمَضَى بَيَان ذَلِكَ قَرِيبًا فِي ” كِتَاب الْأَحْكَام ” وَقَدْ وَقَعَ فِي حَدِيث جَابِر الْمُشَار إِلَيْهِ ” وَكُلّ بِدْعَة ضَلَالَة ” وَفِي حَدِيث الْعِرْبَاض بْن سَارِيَة ” وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَات الْأُمُور فَإِنَّ كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة ” وَهُوَ حَدِيث أَوَّله ” وَعَظَنَا رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَة بَلِيغَة ” فَذَكَرَهُ وَفِيهِ هَذَا أَخْرَجَهُ أَحْمَد وَأَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيّ وَصَحَّحَهُ اِبْن مَاجَهْ وَابْن حِبَّان وَالْحَاكِم ، وَهَذَا الْحَدِيث فِي الْمَعْنَى قَرِيب مِنْ حَدِيث عَائِشَة الْمُشَار إِلَيْهِ وَهُوَ مِنْ جَوَامِع الْكَلِم قَالَ الشَّافِعِيّ ” الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم ” أَخْرَجَهُ أَبُو نُعَيْم بِمَعْنَاهُ مِنْ طَرِيق إِبْرَاهِيم بْن الْجُنَيْد عَنْ الشَّافِعِيّ ، وَجَاءَ عَنْ الشَّافِعِيّ أَيْضًا مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي مَنَاقِبه قَالَ ” الْمُحْدَثَات ضَرْبَانِ مَا أُحْدِث يُخَالِف كِتَابًا أَوْ سُنَّة أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَة الضَّلَال ، وَمَا أُحْدِث مِنْ الْخَيْر لَا يُخَالِف شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَة غَيْر مَذْمُومَة ” اِنْتَهَى
الحاوي للفتاوي للسيوطي – (1 / 276)
لأن البدعة لم تنحصر في الحرام والمكروه بل قد تكون أيضا مباحة ومندوبة وواجبة قال النووي في التهذيب الأسماء واللغات البدعة في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي منقسمة إلى حسنة وقبيحة، وقال الشيخ عز الدين بن عبد السلام في القواعد البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرمة ومندوبة ومكروهة ومباحة قال والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة فإذا دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة أو في قواعد التحريم فهي محرمة أو الندب فمندوبة أو المكروه فمكروهة أو المباح فمباحة، وذكر لكل قسم من هذه الخمسة أمثلة إلى أن قال وللبدع المندوبة أمثلة: منها إحداث الربط والمدارس وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول ومنها التراويح والكلام في دقائق التصوف وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال في المسائل إن قصد بذلك وجه الله تعالى، وروى البيهقي بإسناده في مناقب الشافعي عن الشافعي قال المحدثات من الأمور ضربان (277)أحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة، وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان نعمت البدعة هذه يعني أنها محدثة لم تكن وإذا كانت فليس فيها رد لما مضى – هذا آخر كلام الشافعي
(8) الاعتصام
“إنّه قد ثبت في الأصول العلمية أنّ كل قاعدة كلية أو دليل شرعي كلي إذا تكررت في مواضع كثيرة وأتى بها شواهد على معان أصولية أو فروعية، ولم يقترن بها تقييد ولا تخصيص مع تكرارها، وإعادة تقررها فذلك دليل على بقائها على مقتضى لفظها من العموم كقوله تعالى: {أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى * وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى} [النجم:3839] وما أشبه ذلك…فما نحن بصدده من هذا القبيل. إذ جاء في الأحاديث المتعددة والمتكررة في أوقات شتى وبحسب الأحوال المختلفة أنّ كل بدعة ضلالة وأنّ كل محدثة بدعة وما كان نحو ذلك من العبارات الدالة على أنّ البدع مذمومة ولم يأت في آية ولا حديث تقييد ولا تخصيص ولا ما يفهم خلاف ظاهر الكلية فيها، فدل ذلك دلالة واضحة على أنّها على عمومها وإجمالها”
(9)إحياء علوم الدين – (1 / 277(
قال أبو بكر الهذلي سألت الحسن عن تنقيط المصاحف بالأحمر فقال وما تنقيطها قال يعربون الكلمة بالعربية قال أما إعراب القرآن فلا بأس به وقال خالد الحذاء دخلت على ابن سيرين فرأيته يقرأ في مصحف منقوط وقد كان يكره النقط وقيل إن الحجاج هو الذي أحدث ذلك وأحضر القراء حتى عدوا كلمات القرآن وحروفه وسووا أجزاءه وقسموه إلى ثلاثين جزءا وإلى أقسام أخر
حاشية الجمل – (3 / 271(
فائدة ) إثبات نحو أسماء السور والأعشار من بدع الحجاج ا هـ حج ومراده بذلك إثباتها في المصاحف لا أنه اخترع أسماءها لما صح أنها كلها توقيفية ا هـ برماوي و ع ش على م ر
(10)شرح النووي على مسلم – (3 / 461(
)مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَام سُنَّة حَسَنَة فَلَهُ أَجْرهَا (إِلَى آخِره ، فِيهِ : الْحَثّ عَلَى الِابْتِدَاء بِالْخَيْرَاتِ وَسَنّ السُّنَن الْحَسَنَات ، وَالتَّحْذِير مِنْ اِخْتِرَاع الْأَبَاطِيل وَالْمُسْتَقْبَحَات ، وَسَبَب هَذَا الْكَلَام فِي هَذَا الْحَدِيث أَنَّهُ قَالَ فِي أَوَّله : ( فَجَاءَ رَجُل بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا ، فَتَتَابَعَ النَّاس ) وَكَانَ الْفَضْل الْعَظِيم لِلْبَادِي بِهَذَا الْخَيْر ، وَالْفَاتِح لِبَابِ هَذَا الْإِحْسَان . وَفِي هَذَا الْحَدِيث تَخْصِيص قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كُلّ مُحْدَثَة بِدْعَة وَكُلّ بِدْعَة ضَلَالَة ” ، وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة ، وَقَدْ سَبَقَ بَيَان هَذَا فِي كِتَاب صَلَاة الْجُمُعَة ، وَذَكَرْنَا هُنَاكَ أَنَّ الْبِدَع خَمْسَة أَقْسَام : وَاجِبَة وَمَنْدُوبَة وَمُحَرَّمَة وَمَكْرُوهَة وَمُبَاحَة
(11)صحيح مسلم – (2 /570(704-
1017 حدثني محمد بن الْمُثَنَّى الْعَنَزِيُّ أخبرنا محمد بن جَعْفَرٍ حدثنا شُعْبَةُ عن عَوْنِ بن أبي جُحَيْفَةَ عن الْمُنْذِرِ بن جَرِيرٍ عن أبيه قال كنا عِنْدَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم في صَدْرِ النَّهَارِ قالفَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أو الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ من مُضَرَ بَلْ كلهم من مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِمَا رَأَى بِهِمْ من الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فقال { يا أَيُّهَا الناس اتَّقُوا رَبَّكُمْ الذي خَلَقَكُمْ من نَفْسٍ وَاحِدَةٍ } إلى آخِرِ الْآيَةِ { إِنَّ اللَّهَ كان عَلَيْكُمْ رَقِيبًا } وَالْآيَةَ التي في الْحَشْرِ { اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ ما قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ } تَصَدَّقَ رَجُلٌ من دِينَارِهِ من دِرْهَمِهِ من ثَوْبِهِ من صَاعِ بُرِّهِ من صَاعِ تَمْرِهِ حتى قال وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ قال فَجَاءَ رَجُلٌ من الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عنها بَلْ قد عَجَزَتْ قال ثُمَّ تَتَابَعَ الناس حتى رأيت كَوْمَيْنِ من طَعَامٍ وَثِيَابٍ حتى رأيت وَجْهَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم من سَنَّ في الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ من عَمِلَ بها بَعْدَهُ من غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ من أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ في الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كان عليه وِزْرُهَا وَوِزْرُ من عَمِلَ بها من بَعْدِهِ من غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ من أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
(12)صحيح البخاري – (4 / 1907)
– حدثنا موسى بن إسماعيل عن إبراهيم بن سعد حدثنا ابن شهاب عن عبيد بن السباق أن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال : أرسل إلي أبو بكر مقتل أهل اليمامة فإذا عمر بن الخطاب عنده قال أبو بكر رضي الله عنه إن عمر أتاني فقال إن القتل قد استحر يوم اليمامة بقراء القرآن وإني أخشى أن يستحر القتل بالقراء بالمواطن فيذهب كثير من القرآن وإني أرى أن تأمر بجمع القرآن . قلت لعمر كيف تفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ قال عمر هذا والله خير فلم يزل عمر يراجعني حتى شرح الله صدري لذلك ورأيت في ذلك الذي رأى عمر . قال زيد قال أبو بكر إنك رجل شاب عاقل لا نتهمك وقد كنت تكتب الوحي لرسول الله صلى الله عليه و سلم فتتبع القرآن فاجمعه . فوالله لو كلفوني نقل جبل من الجبال ما كان أثقل علي مما أمرني به من جمع القرآن . قلت كيف تفعلون شيئا لم يفعله رسول الله ؟ قال هو والله خير فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي شرح له صدر أبي بكر وعمر رضي الله عنهما فتتبعت القرآن أجمعه من العسب واللخاف وصدور الرجال حتى وجدت آخر سورة التوبة مع أبي خزيمة الأنصاري لم أجدها مع أحد غيره { لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم }
مستخرج أبي عوانة – مشكول – (8 / 148)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: نا مُحَاضِرُ بْنُ الْمُوَرِّعِ، قَالَ : حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ الْمُهَاجِرِينَ، قَالُوا لِعُمَرَ: لَوِ اسْتَخْلَفْتَ عَلَيْنَا؟ فَقَالَ: أَتَحَمَّلُ أَمُورَكُمْ حَيًّا وَمَيِّتًا، إِنْ أَدْعْكُمْ فَقَدْ وَدَعَكُمْ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -، وَإِنْ أَسْتَخْلِفْ عَلَيْكُمْ فَقَدِ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي أَبُو بَكْرٍ
(13)الحاوي للفتاوي للسيوطي – (1 / 276)
وروى البيهقي بإسناده في مناقب الشافعي عن الشافعي قال المحدثات من الأمور ضربان (277)أحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة، وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان نعمت البدعة هذه يعني أنها محدثة لم تكن وإذا كانت فليس فيها رد لما مضى –
فتاوى السبكي – (3 / 240)
وَمَا أَحْسَنَ وَأَصْوَبَ كَلَامَ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَيْثُ قَالَ : الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ مِمَّا يُخَالِفُ كِتَابًا ، أَوْ سُنَّةً ، أَوْ أَثَرًا ، أَوْ إجْمَاعًا فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ ضَلَالَةٌ .وَالثَّانِي : مَا أُحْدِثَ مِنْ الْخَيْرِ لَا خِلَافَ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُومَةٍ وَقَدْ قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ نِعْمَتْ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، تَعَيَّنَ أَنَّهَا مُحْدَثَةٌ لَمْ تَكُنْ ، وَإِذَا كَانَتْ لَيْسَ فِيهَا رَدٌّ لِمَا مَضَى
(14)إحياء علوم الدين – (1 / 276)
ولا يمنع من ذلك كونه محدثا فكم من محدث حسن كما قيل في إقامة الجماعات في التراويح إنها من محدثات عمر رضي الله عنه وأنها بدعة حسنة إنما البدعة المذمومة ما يصادم السنة القديمة أو يكاد يفضي إلى تغييرها
فتاوى السبكي – (3 / 240)
وَأَمَّا تَهْيِئَةُ الْقَنَادِيلِ لِلِاسْتِصْبَاحِ فَهَذَا هُوَ الَّذِي اسْتَرْوَحَ الْقَائِلَ إلَى أَنَّهُ بِدْعَةٌ ، وَالْحَقُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ فَإِنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَوَّرَ الْمَسَاجِدَ وَالصَّحَابَةُ مُتَوَافِرُونَ وَشَكَرَهُ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى ذَلِكَ وَكُلُّ مَا فَعَلَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سُنَّةٌ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، وَلَا يَجُوزُ إطْلَاقُ الْبِدْعَةِ عَلَيْهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ } . اقْتَضَى هَذَا أَنَّ سُنَّةَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ لَيْسَتْ بِبِدْعَةٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ثَانِي الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ، وَلَمْ نَعْلَمْ أَحَدًا مِنْ الْعُلَمَاءِ الْمُتَقَدِّمِينَ ، وَلَا الْمُتَأَخِّرِينَ أَطْلَقَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا فَعَلَ الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ بِدْعَةً مُطْلَقًا وَقَدْ وَقَعَ فِي كَلَامِ الشَّيْخِ الْعَلَّامَةِ شَيْخِ الْإِسْلَامِ فِي زَمَانِهِ أَبِي مُحَمَّدٍ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ عَلَى التَّرَاوِيحِ أَنَّهَا بِدْعَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ ، وَكَذَا وَقَعَ فِي كَلَامِ الْفَاضِلِ الْكَبِيرِ أَبِي بَكْرٍ الطُّرْطُوشِيِّ الْمَالِكِيِّ فِي كَلَامِهِ عَلَى الْبِدَعِ وَالْحَوَادِثِ وَغَيْرِهِ عَدَا التَّرَاوِيحَ فِيهَا ، وَاغْتَرَّ بِهَذَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ وَهَؤُلَاءِ الْعُلَمَاءُ الْمُتَأَخِّرُونَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لَمْ يُطْلِقُوا لَفْظَ الْبِدْعَةِ إطْلَاقًا .وَإِنَّمَا قَيَّدُوهُ بِالْمُسْتَحَبَّةِ وَأَدْرَجُوهُ فِي جُمْلَةِ الْجَوَابِ وَكَانَ ذَلِكَ عُذْرًا مُبَيِّنًا مَا قَصَدُوهُ مِنْ كَوْنِهَا حَادِثَةً بِتِلْكَ الصِّفَةِ الْخَاصَّةِ ، وَمَا أَحْسَنَ وَأَصْوَبَ كَلَامَ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَيْثُ قَالَ : الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا : مَاأُحْدِثَ مِمَّا يُخَالِفُ كِتَابًا ، أَوْ سُنَّةً ، أَوْ أَثَرًا ، أَوْ إجْمَاعًا فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ ضَلَالَةٌ .وَالثَّانِي : مَا أُحْدِثَ مِنْ الْخَيْرِ لَا خِلَافَ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُومَةٍ وَقَدْ قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ نِعْمَتْ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ،
الفتاوى الحديثية لابن حجر الهيتمي – (1 / 326)
مطلب في تفريق البدعة وأنها تعتريها الأحكام الخمسة وقول السائل نفع الله به : وهل الاجتماع للبدع المباحة جائز ؟ جوابه : نعم هو جائز . قال عز الدين عبد السلام رحمه الله تعالى : البدعة فعل ما لم يعهد في عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، وتنقسم إلى خمسة أحكام يعني الوجوب والندب الخ ، وطريق معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشرع فأي حكم دخلت فيه فهي منه ، فمن البدع الواجبة تعلم النحو الذي يفهم به القرآن والسنة ، ومن البدع المحرمة مذهب نحو القدرية ، ومن البدع المندوبة إحداث نحو المدارس والاجتماع لصلاة التراويح ، ومن البدع المباحة المصافحة بعد الصلاة ومن البدع المكروهة زخرفة المساجد والمصاحف أي بغير الذهب وإلا فهي محرمة ، وفي الحديث ” كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار ” وهو محمول على المحرمة لا غير ، وحيث حصل في ذلك الاجتماع لذكر أو صلاة التراويح أو نحوها محرم وجب على كل ذي قدرة النهي عن ذلك وعلى غيره الامتناع من حضور ذلك ، وإلا صار شريكا لهم ، ومن ثم صرح الشيخان بأن من المعاصي الجلوس مع الفساق إيناسا لهم
(15)فيض القدير – (4 / 246)
(الشيطان يهم بالواحد والاثنين فإذا كانوا ثلاثة لم يهم بهم) قال في الفردوس : يعني في السفر وقال غيره : أراد بالواحد المنفرد برأيه وأخذ منه أن تقليد الأكثر أولى من تقليد الأكبر ويؤيده خبر عليكم بالسواد الأعظم من شذ شذ إلى النار (فائدة) سئل شيخ الإسلام زكريا : هل للكرام الكاتبين وللشيطان الإطلاع على ما يخطر في القلب أم لا ؟ فأجاب : لهم الإطلاع على ما يخطر بالقلب بإطلاع الله تعالى.
(16)جامع العلوم والحكم – (28 / 24(
قوله : (( وإيَّاكم ومحدثاتِ الأمور ، فإنَّ كلَّ بدعة ضلالة )) تحذيرٌ للأمة مِنَ اتِّباعِ الأمورِ المحدَثَةِ المبتدعَةِ ، وأكَّد ذلك بقوله : (( كلُّ بدعةٍ ضلالةٌ )) ، والمراد بالبدعة : ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً
عون المعبود – (12 / 235(
) وإياكم ومحدثات الامور الخ ) قال الحافظ بن رجب في كتاب جامع العلوم والحكم فيه تحذير للأمة من اتباع الأمور المحدثة المبتدعة وأكد ذلك بقوله كل بدعة ضلالة والمراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يدل عليه وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا وإن كان بدعة لغة فقوله صلى الله عليه و سلم كل بدعة ضلالة من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيء وهو أصل عظيم من أصول الدين وأما ما وقع في كلام السلف من استحسان بعض البدع فإنما ذلك في البدع اللغوية لا الشرعية فمن ذلك قول عمر رضي الله عنه في التراويح نعمت البدعة هذه وروى عنه أنه قال إن كانت هذه بدعة فنعمت البدعة ومن ذلك أذان الجمعة الأول زاده عثمان لحاجة الناس إليه وأقره علي واستمر عمل المسلمين عليه
(17)المجموع – (4 / 518) 519(
(قوله) صلي الله عليه وسلم ” كل بدعة ضلالة ” هذا من العام المخصوص لان البدعة كل ما عمل علي غير مثال سبق قال العلماء وهى خمسة اقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة وقد ذكرت أمثلتها واضحة في تهذيب الاسماء واللغات ومن البدع الواجبة تعلم أدلة الكلام للرد علي مبتدع أو ملحد تعرض وهو فرض كفاية كما سنوضحه ان شاء الله تعالى في كتاب السير ومن البدع المندوبات بناء المدارس والربط وتصنيف العلم ونحو ذلك والضياع – بفتح الضاد – العيال أي من ترك عيالا وأطفالا يضيعون بعده فليأتوني لاقوم بكفايتهم وكان صلى الله عليه وسلم يقضي دين من مات وعليه دين لم يخلف له وفاء وكان هذا القضاء واجبا على رسول الله عليه وسلم علي الصحيح عند اصحابنا وفيه وجه ضعيف انه كان مستحبا ولا يجب اليوم على الامام ان يقضيه من مال نفسه وفي وجوب قضائه من بيت المال إذا كان فيه سعة ولم يضق عن أهم من هذا وجهان مشهوران وسيأتى كل هذا واضحا في اول كتاب النكاح في الخصائص حيث ذكرها الشافعي والاصحاب ان شاء الله تعالي
مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح – (1 / 490(
قوله كل بدعة ضلالة عام مخصوص قال الشيخ عز الدين بن عبد السلام في آخر كتاب القواعد البدعة إما واجبة كتعلم النحو لفهم كلام الله ورسوله وكتدوين أصول الفقه والكلام في الجرح والتعديل وإما محرمة كمذهب الجبرية والقدرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة لأن حفظ الشريعة من هذه البدع فرض كفاية وإما مندوبة كإحداث الربط والمدارس وكل إحسان لم يعهد في الصدر الأول وكالتراويح أي بالجماعة العامة والكلام في دقائق الصوفية وإما مكروهة كزخرفة المساجد وتزويق المصاحف يعني عند الشافعية وأما
(18)تفسير الجلالين – (5 / 218(
{ أَمَّا السفينة فَكَانَتْ لمساكين } عشرة { يَعْمَلُونَ فِى البحر } بها مؤاجرة لها طلبا للكسب { فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم } إذا رجعوا أو أمامهم الآن { مَلِكٌ } كافر { يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ } صالحة { غَصْباً } نصبه على المصدر المبين لنوع الأخذ
تفسير ابن كثير – (3 / 133)
هذا تفسير ما أشكل أمره على موسى عليه السلام وما كان أنكر ظاهره وقد أظهر الله الخضر عليه السلام على حكمة باطنة فقال : إن السفينة إنما خرقتها لأعيبها لأنهم كانوا يمرون بها على ملك من الظلمة { يأخذ كل سفينة } صالحة أي جيدة { غصبا } فأردت أن أعيبها لأرده عنها لعيبها فينتفع بها أصحابها المساكين الذين لم يكن لهم شيء ينتفعون به غيرها وقد قيل إنهم أيتام وروى ابن جريج عن وهب بن سليمان عن شعيب الجبائي أن اسم الملك هدد بن بدد وقد تقدم أيضا في رواية البخاري وهو مذكور في التوراة في ذرية العيص بن إسحاق وهو من الملوك المنصوص عليهم في التوارة والله أعلم
Sumber: http://santri.net/kajian-khusus/kontra-wahabi/bidah/
Terimakasih sudah berkunjung & berbagi. ( Lintang Sanga )