Baca Juga
BAB I
MUQADIMAH
Nahdlatul Ulama ( N U ) adalah jam’iyyah yang didirikan oleh para Kiai Pengasuh Pesantren. Tujuan didirikannya NU ini diantaranya adalah : a) memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang menganut pola madzhab empat : Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali; b) mempersatukan langkah para Ulama dan pengikut-pengikutnya; dan c) melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ajaran sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah ﷺ. Dalam sebuah hadits yang artinya : “Kaum Yahudi tergolong-golong menjadi 71, kaum Nasrani menjadi 72, dan umatku (umat Islam) menjadi 73 golongan. Semua golongan masuk neraka kecuali satu. Para Sahabat bertanya, “Siapa satu yang selamat itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah (penganut Sunnah dan Jama’ah)”. Apakah Ahlussunnah wal Jama’ah itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah adalah apa yang aku (Nabi) berada di atasnya bersama sahabatku”.
Jadi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ajaran (wahyu Allah) disampaikan Nabi Muhammad ﷺ. kepada sahabat-sahabat-Nya dan beliau amalkan serta diamalkan para sahabat.
Memang ada yang menilai hadits tersebut mengandung kelemahan. Tetapi bila dijadikan pegangan dan pedoman untuk mengukur pandangan dan perilaku yang dapat dibenarkan ajaran Islam pasti lebih baik dibanding keterangan para pakar yang belum pasti kekuatan dan kebenarannya.
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syari’ah, dan akhlaq. Ketiganya, merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam. Didasarkan pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang aqidah, empat Imam madzhab besar dalam bidang Fiqih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan dalam bidang tasawwuf menganut manhaj Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Al-Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi, seperti para imam lain yang sejalan dengan syari’ah Islam.
Ciri utama Aswaja NU adalah sikap tawassuth dan i’tidal (tengah-tengah dan atau keseimbangan). Yakni selalu seimbang dalam menggunakan dalil, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara pendapat Jabariyah dan Qadariyah, dan sikap moderat dalam menghadapi perubahan dunyawiyah. Dalam masalah fiqih sikap pertengahan antara ijtihad dan taqlid buta, yaitu dengan cara bermadzhab. Ciri sikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang qath’iyyat dan toleran dalam hal-hal dzanniyyat.
Tawassuth dalam menyikapi budaya ialah mempertahankan budaya lama yang masih baik dan menerima budaya baru yang lebih baik. Dengan sikap ini Aswaja NU tidak apriori menolak atau menerima salah satu dari keduanya.f
Dalam masalah akhlaq menggunakan perpaduan antara syaja’ah (berani) dan ngawur. Penggunaan sikap tawadhu’ yang merupakan perpaduan antara takabbur (sombong) dan tadzallul (rasa rendah diri). Rendah hati merupakan sikap terpuji sedangkan rendah diri harus dihindari karena tercela.
Latar belakang diterbitkannya buku Aswaja NU ini antara lain karena munculnya berbagai kelompok di tengah masyarakat Islam yang mengaku sebagai golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. Contohnya seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Lasykar Jihad Ahlussunnah wal Jama’ah, Salafi, Jama’ah Tabligh atau Jawlah.
Golongan di atas tadi suka menuduh golongan lain sebagai ahli bid’ah, syirik, khurafat, dhalalah dan sebagainya. Walaupun mengaku berpaham dan berlabel Aswaja tapi perilakunya terkesan radikal, penuh tindak kekerasan, dan merasa hanya kelompoknya yang paling benar dan paling Islam. Kelompok lain yang tidak sama dengan paham mereka dianggap salah dan bahkan keluar dari ajaran Islam. Padahal justru dari perilaku mereka itu akan menimbulkan cap negatif terhadap Islam secara keseluruhan yang sejatinya mempunyai misi rahmatan li al-‘alamin. Perilaku semacam itu juga dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Dengan terbitnya tulisan ini diharapkan dapat menjadi pegangan bagi seluruh warga Nahdliyyin dan Nahdliyyat agar mereka dapat membedakan antara paham Aswaja ala NU dengan Aswaja golongan lain.
Karena singkatnya waktu dan keterbatasan kemampuan Tim Penyusun, maka sangat disadari bahwa tulisan ini banyak kekurangan. Oleh karena itu kepada semua pihak diharap koreksi, kritik, dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan buku ini pada penerbitan berikutnya. Dan kepada semua pihak yang ikut terlibat dan membantu tersusun dan terbitnya buku ii disampaikan jazakumullah ahsanal jaza dan terima kasih. Walaupun buku ini kecil dan sederhana, semoga besar manfaatnya dan mendapatkan ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala. Aamiin
BAB II
SUMBER AJARAN ASWAJA AN-NAHDLIYAH
Prosedur perumusan hokum dan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dlam tradisi jam’iyyah Nahdlatul Ulama amat bergantung pada pola pemecahan masalahnya antara : pola maudhu’iyah (tematik) atau terapan (qonuniyah) dan waqi’iyah (kasuistik). Pola maudhu’iyah pendiskripsian masalahnya berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran Islam dikaitkan dengan kepentingan terapan hokum positif (RUU/ Raperda), maka pendekatan masalahnya berintikan “tathbiq al-syari’ah” disesuaikan dengan kesadaran hokum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian faktual (waqi’iyah) yang bersifat regional (kedaerahan) atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode takhayyur (elektif) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instan).
Berikut diuaraikan cara merujuk (menggali sumber referensi) dan langkah istinbath (deduktif) atau istidlal (induktif) yang menjadi tradisi keagamaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
A. Madzhab Qauli
Pendapat atau pandangan keagamaan ulama yang teridentitas sebagai “ulama Sunni” dikutip secara utuh qaulnya dari kitab mu’tabar dalam madzhab. Seperti mengutip dari kitab “Al-Iqtishad fi al-I’tiqad” karangan Abu Hamid Al-Ghazaliy yang menjabarkan paham aqidah Asy’ariyah atau kitab “Al-‘Umm” yang menghimpun qaul Imam Syafi’i. Sekira umat diperlukan perluasan doktrin (elaborasi) seyogyanya merujuk ke kitab syarah yang disusun oleh ulama Sunni dalam madzhab yang sama. Seperti kitab “Al-Majmu’” karya Imam An-Nawawi yang mengulang pandangan fiqih Imam Asy-Syairazi dalam Al-Muhadzdzab.
Agar terjaga keutuhan paham madzhab sunni harus dihindarkan pengutipan pendapat (qaul) dari kitab yang penulisnya bermadzhab lain. Misalnya mengutip pendapat Imam Malik dari kitab Fiqhu as-Sunnah karya Sayyid Sabiq, atau pensyarahan atas hadits koleksi Ibnu Daqiq al-Ied bertitel Muntaqa al-Akhbar dari ulasan Asy-Syaukani dalam Nayl al-Awthar.
B. Madzhab Manhaji
Ketika upaya merespon masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash syar’i berupa kutipan ayat Al-Qur’an, nuqilan matan Sunnah atau hadits, untuk mewujudkan citra muhafadzah maka langkah kerjanya sebagai berikut :
Pertama, kutipan ayat dari mushaf dengan rasam ‘Utsmaniy lengkap dengan petunjuk nama surat dan nomor urut ayat serta menyertakan terjemah standard eks Depaertemen Agama RI.; kutip pula tafsir atas ayat tersebut oleh Mufassir Sunni dari kitab tafsir yang tergolong mu’tabar. Keunggulan tafsir bila ditelusuri dari sumber dan media yang diperbantukan serta penerapan kaidah istinbath atas nash ungkapan Al-Qur’an. Integritas mufassir sebagai ulama Sunni diperlukan sebagai jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan. Sebagaimana diketahui pada jajaran ulama Syi’ah Imamiyah (Ja’fariyah dan Itsna Asy’ariyah) telah memperluas sifat kema’shuman melampaui wilayah nubuwwah, dan terjadi pentakwilan oleh ulama bathiniyah yang keluar dari bingkai aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kedua, Penuqilan matan sunnah/ hadits harus berasal dari kitab ushulul hadits (kitab hadits standard) berikut mencantumkan narasumber Nabi atau Rasulullah ﷺ. serta nama periwayat/ nama mukharrij (kolektor). Pemberdayaan nash sunnah atau nash hadits sebagai hujjah syar’iyah harus mempertimbangkan data hasil uji kehujjahannya sebagai shahih, hasan atau dha’if. Penarikan kesimpulan atas konsep substansi nash bermuara pada pensyarahan oleh Muhadditsin yang paham keagamaannya diakui sebagai Sunni.
Ketiga, Pengutipan ijma’ perlu memisahkan kategori ijma’ shahabi yang diakui tertinggi mutu kehujjahannya dari ijma’ mujtahidin. Sumber pengutipan ijma’ sebaiknya mengacu pada kitab karya mujtahid muharrir madzhab seperti Imam Nawawi dan lain-lain. Pengintegrasian tafsir untuk ayat yang dirujuk berikut data kritik serta syarah hadits guna mengimbangi kondisi para pelaku penggalian ajaran dengan cara manhaji pada masa sekarang belum memenuhi kualifikasi mujtahid level manapun.
C. Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi
Pada tataran aplikasi hokum (tathabiq al-syar’iyah) terkait proses penyusunan RUU/ Raperda mungkin pilihan jatuh pada kreasi mengembangkan asas-asas ijtihad yang dikenal pada jajaran ulama sunni. Misalnya : ‘Umumu al-Balwa, Qaul Shahabi, Qaul Tabi’in, Mura’atu al-Khilaf, Kondisi Dharurat, asas ‘Urf/ Ta’amul, ‘Amalu Ahli al-Madinah, Istihsan, Syar’u al-Dzara’i, Istishhab, Mashalih Mursalah, Maqashid asy-Syari’ah, Siyasah Syar’iyah dan lain sebagainya.
Operasionalisasi asas-asas ijtihad tersebut perlu didukung kearifan mengenali bobot masalah ijtihadiyah terutama: Frame (bingkai) masalah, Konteks (keterkaitan) dengan kepentingan individu atau kebijakan publik, dampak pada sektor aqidah dan ghirah diniyah, kadar kesulitan dalam pelaksanaan, membuka peluang hilah hukum dan resiko berjangka panjang. Oleh karena itu kompleksitas masalah di negara plural agamanya, maka perumusan hokum yang memberdayakan asas ijtihad harus dilakukan secara kolektif (jama’iy) dan terjamin taat kaidah istidlal.
AQIDAH ASWAJA AN-NAHDLIYAH
Pada zaman Rasulullah ﷺ. masih ada, perbedaan pendapat di antara kaum muslimin (sahabat) langsung dapat diselesaikan dengan kata akhir dari Kanjeng Nabi Muhammad. Tapi sesudah beliau wafat, penyelesaian semacam itu tidak ditemukan. Perbedaan sering mengendap lalu muncul lagi sebagai pertentangan dan permusuhan di antara mereka. Sesungguhnya pada mulanya, persengketaan akibat pertentangan imamah, bukan persoalan aqidah. Dari situ, kemudian merambah ke dalam wilayah agama. Terutama seputar hukum seorang muslim yang berbuat dosa besar dan bagaimana statusnya ketika ia mati, apakah tetap mukmin atau sudah kafir.
Dari situ, pembicaraan tentang aqidah masa berikutnya meluas kepada persoalan-persoalan Tuhan dan manusia. Terutama terkait perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan. Demikian juga tentang sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, ke-huduts-an dan ke-qadim¬-an sifat-sifat Tuhan dan kemakhlukan Al-Qur’an. Dalam mempertahankan pendapat tentang persoalan tersebut terjadi perbedaan yang sangat tajam dan saling bertentangan.
Di tengah-tengah pertentangan itu, lahirlah dua kelompok moderat yang berusaha mengkompromikan keduanya. Kelompok ini kemudian dinamakan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Dua kelompok itu adalah Asy’ariyah yang didirikan oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260 H/873 M, wafat di Baghdad, 423 H/ 935 M) dan Maturidiyah yang didirikan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi (lahir di Maturid-Samarkand, wafat 333 H).
A. Konsep Aqidah Asy’ariyah
Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengah (Tawasuth) di antara kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang pada masa itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Dalam membicarakan perbuatan manusia, keduanya saling berseberangan. Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki peranan apapun. Sedang kelompok Qadariyah memandang bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah. Dengan begitu, bagi Jabariyah kekuasaan Allah adalah mutlak dan bagi Qadariyah kekuasaan Allah terbatas.
Sikap Tawasuth ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Kasb memiliki makna kebersamaan perbuatan manusia dengan kekuasaan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan konsep kasb tersebut, aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia selalu berusaha secara aktif dalam kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya. Dalam konteks kehidupan sekarang, aqidah Asy’ariyah, paling memungkinkan dijadikan landasan memajukan bangsa. Dari persoalan ekonomi, budaya, kebangsaan sampai memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan kekinian, seperti HAM, kesehatan, gender, otonomi daerah dan sebagainya.
Sikap Tasamuh (toleransi) ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan antara lain ditunjukkan dalam konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Bagi Mu’tazilah, Tuhan wajib berlaku adil dalam meperlakukan makhluk-Nya. Tuhan wajib memasukkan orang baik ke dalam surga dan memasukkan orang jahat ke dalam neraka. Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah. Alasannya, kewajiban berarti telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan, padahal Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang bisa membatasi kehendak dan kekuasaan Tuhan. Meskipun dalam Al-Qur’an Allah berjanji akan memasukkan orang baik ke dalam surga dan orang yang jahat ke dalam neraka, namun tidak berarti kekuasaan Allah terbatasi. Segala keputusan tetap ada pada kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jika dalam paham Mu’tazilah posisi akal di atas wahyu, Asy’ariyah berpendapat wahyu di atas akal. Moderasi ditunjukkan oleh Asy’ariyah. Ia berpendapat bahwa meskipun wahyu di atas akal, namun akal tetap diperlukan dalam memahami wahyu. Jika akal tidak mampu memahami wahyu, maka akal harus tunduk dan mengikuti wahyu. Karena kemampuan akal terbatas, maka tidak semua yang terdapat di dalam wahyu dapat dipahami oleh akal dan kemudian dipaksakan sesuai dengan pendapat akal.
Dengan demikian, bagi Asy’ariyah rasionalitas tidak ditolak. Kerja-kerja rasional dihormati sebagai penerjemahan dan penafsiran wahyu dalam kerangka untuk menentukan langkah-langkah ke dalam pelaksanaan sisi kehidupan manusia. Yakni bagaimana pesan-pesan wahyu dpat diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah pengejawantahan dari pesan Al-Qur’an bahwa risalah Islam adalah rahmatn lil ‘alamin. Namun agar aspek-aspek rasionalitas itu tidak menyimpang dari wahyu, manusia harus mengembalikan seluruh kerja rasio di bawah kontrol wahyu.
Masalah adanya sifat Allah, Mu’tazilah hanya mengakui sifat wujud Allah. Sementara, Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Walaupun sifat tidak sama dengan Dzat-Nya, tetapi sifat adalah qadim dan azali. Allah mengetahui, misalnya, bukan dengan pengetahuan-Nya, akan tetapi dengan sifat ilmu-Nya. Dalam memahami sifat Allah yang qadim ini, Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam, satu missal, adalah sifat Allah yang qadim dan azali, karena itu Al-Qur’an sebagai kalam Allah adalah qadim, Al-Qur’an bukan makhluk. Jadi ia tidak diciptakan.
B. Konsep Aqidah Maturidiyah
Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah memiliki keselarasan dengan aqidah Asy’ariyah. Itu ditunjukkan oleh cara memahami agama yang tidak secara ekstrem sebagaimana dalam kelompok Mu’tazilah. Yang sedikit membedakan keduanya, bahwa Asy’ariyah fiqihnya menggunakan madzhab Imam Syafi’i dan Imam Maliki, sedang Maturidiyah menggunakan madzhab Imam Hanafi.
Asy’ariyah berhadapan langsung dengan kelompok Mu’tazilah, tapi Maturidiyah menghadapi berbagai kelompok yang cukup banyak. Di antara kelompok yang muncul pada waktu itu adalah Mu’tazilah, Mujassimah, Qaramithah, dan Jahmiyah. Juga kelompok agama lain, seperti Yahudi, Majusi, dan Nasrani.
Sikap Tawasuth yang ditunjukkan oleh Maturidiyah adalah upaya pendamaian antara al-naqli dan al-‘aqli (nash dan akal). Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kesalahan apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql), sama juga salah apabila kita larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio (‘aql). Menggunakan ‘aql sama pentingnya dengan menggunakan naql. Sebab akal yang dimiliki oleh manusia juga berasal dari Allah, karena itu dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan umat Islam untuk menggunakan akal dalam memahami tanda-tanda (al-ayat) kekuasaan Allah yang terdapat di alam raya. Dalam Al-Qur’an misalnya ada kalimat liqaumin yatafakkarun, liqaumin ya’qilun, liqaumin yatadzakkarun, la’allakum tasykurun, la’allakum tahtadun dan sebagainya. Artinya bahwa penggunaan akal itu, semuanya diperuntukkan agar manusia memperteguh iman dan takwanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Yang sedikit membedakan dengan Asy’ariyah adalah pendapat Maturidiyah tentang posisi akal terhadap wahyu. Menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima penuh. Tapi jika terjadi perbedaan antara wahyu dan akal, maka akal harus berperan mentakwilkannya. Terhadap ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau tasybih (Allah serupa makhluq) harus ditafsirkan dengan arti majazi (kiasan). Contoh seperti lafal yadullah yang arti aslinya “tangan Allah” ditakwil menjadi “kekuasaan Allah”.
Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan Asy’ariyah sama-sama menerimanya. Namun, sifat-sifat itu bukan sesuatu yang berada di luar Dzat-Nya. Sifat tidak sama dengan dzat, tetapi tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan Dzat-Nya, tetapi dengan pengetahuan (‘ilmu)-Nya (ya’lamu bi’ilmih).
Dalam persoalan ”kekuasaan” dan “kehebdak” (qudrah dan iradah) Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan sendiri. Jadi tidak mutlak. Meskipun demikian, Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Misalnya Allah menjanjikan orang baik masuk surga, orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji tersebut. Tapi dalam hal ini, manusia diberikan kebebasan oleh Allah menggunakan daya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk. Itulah keadilan Tuhan.
Karena manusia diberi kebebasan untuk memilih dalam berbuat, maka – menurut Maturidiyah – perbuatan itu tetap diciptakan oleh Tuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai perbuatan bersama antara manusia dan Tuhan.. Allah yang mencipta dan manusia yang meng-kasab-nya. Dengan begitu manusia yang dikehendaki adalah manusia yang selalu kreatif, tetapi kreatifitas itu tidak menjadikan makhluk sombong karena merasa mampu menciptakan dan mewujudkan. Tetapi manusia yang kreatif dan pandai bersyukur. Karena kemampuannya melakukan sesuatu tetap dalam ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
C. Spirit Ajaran Asy’ariyah dan Maturidiyah
Munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan upaya pendamaian antara kelompok Jabariyah yang fatalistik dan Qadariyah (yang dilanjutkan oleh Mu’tazilah) yang mengagung-agungkan manusia sebagai penentu seluruh kehidupannya. Sikap moderatisme keduanya merupakan ciri utama dari kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dalam beraqidah. Sikap Tawasuth ini diperlukan dalam rangka untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak. Yang prinsip bagi Aswaja adalah berhasilnya nilai-nilai syari’at Islam dijalankan oleh masyarakat, sedang cara yang dilakukan harus menyesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat setempat.
Aswaja menolak ajaran-ajaran aqidah yang dimiliki oleh garis keras. Seperti Mu’tazilah yang memaksakan ajarannya kepada orang lain dengan cara keras. Apabila orang lain tidak sepaham, dituduh musyrik dan harus dihukum. Contoh, kasus mihnah. Pada kasus itu, pemaksaan orang-orang Mu’tazilah kepada kaum muslimin untuk mengakui bahwa Al-Qur’an itu baru atau hadits. Karena itu, apabila terdapat kelompok garis keras, seperti FPI, yang suka menyelesaikan persoalan kemungkaran publik dengan kekerasan dan pemaksaan bahkan dengan pengrusakan, itu bukanlah tabiat kaum Aswaja An-Nahdliyah.
Ajaran Aswaja juga menolak kelompok-kelompok yang menutup diri dari golongan mayoritas kaum muslimin (jama’atul muslimin), seperti yang ditunjukkan oleh kelompok Syi’ah dan Khawarij. Sekarang terdapat kelompok tertentu, seperti LDII, dan sebagainya yang selalu menutup diri dari mayoritas umat Islam, itu bukanlah tabiat kaum Aswaja An-Nahdliyah. Sebab kaum Aswaja adalah kaum yang selalu diikuti oleh mayoritas dan dapat menerima masukan-masukan dari dalam dan luar untuk mencapai kebaikan yang utama. Prinsipnya adalah al-muhafadzatu ‘alal qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
BAB IV
SYARI’AH ASWAJA AN-NAHDLIYAH
Al-Qur’an dan Al-Hadits diturunkan secara berangsur-angsur. Tidak sekaligus. Disampaikan kepada manusia menurut kebutuhan, kepentingan, dan situasi serta kondisi yang berbeda-beda. Ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits disampaikan di Makkah, Madinah dan sekitarnya lebih lima belas abad lalu dengan cara disebarluaskan dan diwariskan kepada umat manusia dengan segala persamaan dan perbedaannya untuk sepanjang zaman dengan berbagai perubahan dan perkembangannya.
Ketika Rasulullah ﷺ. masih hidup, umat manusia menerima ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan. Setelah Rasulullah ﷺ. wafat, para sahabat – termasuk empat Khulafaurrasyidin : Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali – menyebarluaskan ajaran Islam kepada generasi berikutnya. Dengan perkembangan zaman, dengan kondisi masyarakat yang kian dinamis, banyak persoalan baru yang dihadapi umat. Seringkali hal yang muncul itu tidak terdapat jawabannya secara tegas dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Maka untuk mengetahui hokum atau ketentuan persoalan baru itu maka upaya berijtihad harus dilakukan.
Sesungguhnya ijtihad juga sudah dilakukan sahabat ketika Kanjeng Nabi Muhammad masih hidup. Yakni ketika sahabat menghadapi persoalan baru tapi tidak mungkin dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah ﷺ. Seperti pernah dilakukan oleh sahabat Mu’adz bin jabalsaat ditugasi mengajarkan Islam ke Yaman. Dan pada masa-masa sesudah kurun sahabat, kegiata ijtihad makin banyak dilakukan oleh para ulama ahli ijtihad (Mujtahid).
Di antara tokoh yang mampu ber-ijtihad sejak generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan hanya mampu ber-ijtihad sendiri tetapi juga menciptakan “pola pemahaman (manhaj)” tersendiri terhadap sumber pokok hokum Islam, Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ini dicerminkan dengan metode ijtihad yang dirumuskan sendiri, menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih, qawa’idul ahkam, qawa’idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri. Itu menandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu-ilmu penunjang lainnya telah mereka miliki dan kuasai.
Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid, lazim disebut madzhab, berarti “jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau “pola pemahaman”. Pola pemahaman dengan metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak mampu ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Mereka lazim disebut bermadzhab atau menggunakan madzhab.
Dengan sistem bermadzhab, ajaran Islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan dan tingkatan umat Islam. Dari yang paling awam sampai paling alim sekalipun. Melalui sistem ini pula pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusan dan terjamin kemurniannya. Itu karena ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dipahami, ditafsiri, dan diamalkan dengan pola pemahamandan metode ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Walau begitu kualitas bermadzhab yang sudah ada harus terus ditingkatkan, yaitu dengan peningkatan kemampuan dan penguasaan ilmu agama Islam dengan segala jenis dan cabang-cabangnya.
Ajakan kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits tentu tidak boleh diartikan memahami kedua sumber hukum tersebut secara bebas (liberal), tanpa metode dan prosedur serta syarat-syarat yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Kenapa Harus Empat Madzhab
Di antara madzhab bidang fiqih yang paling berpengaruh yang pernah sebanyak empat. Mereka menjadi panutan warga Nahdliyin, masing-masing adalah :
Pertama : Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Biasa disebut Imam Hanafi. Lahir 80 H, dan wafat tahun 150 H, di Baghdad. Abu Hanifah berdarah Persia, digelari Al-Imam al-A’dzam (Imam Agung) menjadi tokoh panutan di Iraq, penganut aliran ahlur ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya. Di antara manhaj istinbathnya yang terkenal adalah Al-Istihsan. Fiqih Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama madzhab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya : Imam Abu Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.
Kedua : Imam Malik bin Anas. Biasa disebut Imam Maliki. Lahir 93 H, dan wafat 179 H di Madinah. Malik, dikenal sebagai “Imam Dar al-Hijrah”. Imam malik adalah seorang ahli hadits sangat terkenal sehingga kitab monumentalnya “Al-Muwatha’” dinilai sebagai kitab hadits hokum yang paling shahih sebelum adanya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim (dua kumpulan hadits shahih yang menjadi rujukan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah). Imam Malik juga mempunyai konsep manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang. Kitabnya berjudul “Al-Maslahah al-Mursalah dan ‘Amal al-Ahl al-Madinah”.
Ketiga : Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Biasa disebut Imam Syafi’i. Lahir 150 H di Ghozza, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits dan Ahl ar-Ra’yi, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan, di Baghdad. Dia adalah murid senior Imam Abu Hanifah. Metodologi istinbathnya ditulis menjadi buku pertama dalam ushul fiqih berjudul Ar-Risalah. Pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa fiqih Imam Syafi’i ada dua macam. Yang disampaikan selama di Baghdad disebut “Al-Qaul al-Qadim (pendapat lama)”, dan yang disampaikan setelah berada di Mesir disebut “Al-Qaul al-Jadid (pendapat baru)”. Tentang ini semua telah dihimpun Imam Syafi’i dalam kitab Al-‘Umm.
Keempat : Imam Ahmad bin Hambal, biasa disebut Imam Hambali. Lahir 164 H, di Baghdad. Imam Ahmad bin Hambal terkenal sebagai tokoh Ahl al-Hadits. Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang murid Imam Syafi’i selama di Baghdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Sampai Imam Syafi’i wafat masih selalu mendo'akannya. Imam Ahmad bin Hambal mewariskan sebuah kitab hadits yang terkait dengan hukum Islam berjudul “Musnad Ahmad”.
Alasan kenapa memilih Empat Madzhab saja. Pertama : Kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara detail.
Kedua : Keempat Imam Madzhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlaq Mustaqil, yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-Fikr, pola, metode, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan, Imam Ghazali belum mencapai derajat seperti empat Imam Madzhab itu. Beliau masih mengikuti madzhab Imam Syafi’i.
Ketiga : Para Imam Madzhab itu mempunyai murid yang sangat konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjamin keasliannya hingga saat ini.
Keempat : Ternyata para Imam Madzhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.
Imam Abu Hanifah pada waktu menunaikan ibadah haji sempat bertemu dengan Imam Malik di Madinah. Hal itu merupakan pertemuan dua tokoh besar dari dua aliran yang berbeda. Imam Abu Hanifah sebagai tokoh aliran ahl ar-ra’yi, sedang Imam Malik merupakan tokoh aliran ahl al-Hadits. Kedua tokoh ini sempat melakukan dialog ilmiah interaktif di Madinah, yang berakhir dengan sikap saling memuji dan mengakui kepakaran masing-masing di hadapan pengikutnya.
Peristiwa itu kemudian mendorong salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah, yakni Imam Muhammad bin Hasan, belajar kepada Imam Malik di Madinah selama dua tahun.
Imam Syafi’i yang cukup lama menjadi murid Imam Malik dan selama sembilan tahun mengikuti Madzhab Maliki, tertarik mempelajari Madzhab Hanafi. Ia berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan, yang waktu itu menggantikan Abu Hanifah yang sudah wafat.
Ternyata Imam Muhammad bin Hasan ini sudah pernah bertemu akrab dengan Imam Syafi’i sewaktu sama-sama belajar kepada Imam Malik di Madinah. Di antara keduanya saling tertarik dan mengagumi. Itu terbukti, waktu Imam Syafi’i ditangkap oleh pemerintah Abbasiyah karena difitnah terlibat gerakan “Alawiyah” di Yaman, yang membela dan memberikan jaminan adalah Imam Muhammad bin Hasan.
Dan yang terakhir : Selama Imam Syafi’i berada di Baghdad yang kedua, Imam Ahmad bin Hambal cukup lama belajar kepada Imam Syafi’i. Kalau diperhatikan, ternyata keempat Imam Madzhab tersebut mempunyai sikap tawadlu’ dan saling menghormati. Kebesaran dan popularitas masing-masing tidak mempengaruhi sikap dan perilaku akhlaqul karimahnya. Itu merupaka citra terpuji dari para pemegang amanah keilmuan yang luar biasa. Hal demikian patut diteladani oleh para pengikut madzhab selanjutnya.
BAB V
TASAWWUF ASWAJA AN-NAHDLIYAH
Aswaja memiliki prinsip, bahwa hakikat tujuan hidup adalah tercapainya keseimbangan kepentingan dunia-akherat dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, dicapai melalui perjalanan spiritual, yang bertujuan untuk memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup manusia (insan kamil). Namun hakikat yang diperoleh tersebut tidak boleh meniggalkan garis-garis syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Syari’at harus merupakan dasar untuk pencapaian hakikat. Inilah prinsip yang dipegangi tashawwuf (tasawwuf) Aswaja.
Bagi penganut Aswaja, Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah merupakan rujukan tertinggi. Tasawwuf yang benar adalah yang dituntun oleh wahyu, Al-Qur’an maupun As-Sunnah (Thariqah ar-Rasulullah ﷺ).
Para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosialnya. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka. Demikian juga perilaku mereka dalam bermasyarakat, seperti sopan santun, tawadhu’ (andab ashor) dan sebagainya harus selalu diresapi dan diteladani dengan penuh kesungguhan dan kesabaran.
Secara jama’ah, kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam bentuk thariqah (tarikat). Tidak semua tarikat yang ada dapat diterima. Kaum Aswaja An-Nahdliyah menerima tarikat yang memiliki sanad sampai dengan Nabi Muhammad, sebab beliau pemimpin seluruh perilaku kehidupan umat Islam. Dari Nabi, seorang sufi harus merujuk dan meneladani. Apabila ada tarikat yang sanadnya tidak sampai kepada Nabi Muhammad, maka kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima sebagai thariqah mu’tabarah.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti yang terdapat dalam tasawwuf Al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana al-haqq” atau tasawwuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti). Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawwuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah seperti yang terdapat dalam tasawwuf Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi.
Penerimaan tasawwuf model tersebut, bertujuan memberikan jalan tengah (tawasuth) di antara dua kelompok yang berbeda. Yaitu kelompok yang menyatakan : Setelah seseorang mencapai tingkat hakikat, tidak lagi diperlukan syari’at, dan kelompok yang menyatakan : Tasawwuf dapat menyebabkan kehancuran umat islam. Oleh karenanya mereka menolak kehidupan tasawwuf secara keseluruhan. Ini seperti yang dituduhkan Ibnu Taimiyah.
Dengan demikian, yang diikuti dan dikembangkan oleh kaum Aswaja An-Nahdliyah adalah tasawwuf yang moderat. Pengadopsian tasawwuf demikian, memungkinkan umat Islam secara individu memiliki hubungan langsung dengan Tuhan, dan secara berjama’ah dapat melakukan gerakan ke arah kebaikan umat. Dengan tasawwuf seperti itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah, dapat menjadi umat yang memiliki kesalehan individu dan keshalehan sosial (jama’ah).
Dengan tasawwuf Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka selalu membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan ketertundukan.
BAB VI
TRADISI DAN BUDAYA
Landasan Dasar Tradisi
Salah satu ciri yang paling dasar dari aswaja adalah moderat (tawasuth). Sikap ini tidak saja mampu menjaga para pengikut Aswaja dari keterperosokan kepada perilaku keagamaan yang ekstrem, tapi juga mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan secara proporsional.
Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Itu karena budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka budaya juga bersifat beragam sebagaimana keberagaman manusia.
Menghadapi budaya atau tradisi, ajaran Aswaja mengacu kepada salah satu kaidah fiqih “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik). Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional. Seseorang harus bisa mengapresiasi hasil-hasil kebaikan yang dibuat orang-orang pendahulu (tradisi yang ada), dan bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan tradisi tersebut atau mencipta tradisi baru yang lebih baik. Sikap seperti ini memacu untuk tetap bergerak ke depan dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
Oleh karena itu, kaum sunni tidak apriori terhadap tradisi. Bahkan fiqih sunni menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah hokum. Hal ini tercermin dalam salah satu kaidah fiqih “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya).
Sikap Terhadap Tradisi
Pertanyaan penting yang perlu dijawab di bagian ini adalah “bagaimana menggunakan kaidah-kaidah fiqih dalam menyikapi tradisi?”. Banyak orang yang memepertentangkan antara budaya dengan agama. Hal ini karena agama berasal dari Tuhan yang bersifat sacral (ukhrawi), sedang budaya adalah kreasi manusia yang bersifat profan (duniawi). Akan tetapi sejak diturunkan, agama tidak bisa dilepaskan dari budaya sebagai perangkat untuk mengekspresikannya.
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Sebagai kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun social.
Dalam hal ini, berlaku kaidah “al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan tradisi atau budayanya, tapi nilai yang dikandungnya. Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung kebaikan, maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan sebagai yang layak untuk diikuti. Ini sebagaimana kaidah fiqih, “al-‘adalah al-muhakkamah”, bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hokum.
Sikap bijak tersebut memungkinkan para pengikut Aswaja melakukan dialog kreatif dengan budaya yang ada. Dengan dialog, bisa saling memperkaya dan mengisi kelemahan masing-masing. Dari proses ini, memungkinkan melakukan upaya penyelarasan unsure-unsur budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok Islam.
Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam, namun di dalamnya mungkin menyimpan butir-butir kebaikan. Menghadapi ini, sikap yang arif bila tidak menghancurkan semuanya, tapi mempertahankan unsure-unsur kebaikan yang ada dan menyelaraskan unsure-unsur lain agar sesuai dengan Islam.inilah makna kaidah “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh”.
Contoh dalam hal ini adalah slametan atau kondangan atau kenduri yang merupakan tradisi orang jawa yang ada sejak sebelum Islam datang. Jika kelompok lain memandang slametan sebagai bid’ah yang harus dihilangkan, kaum sunni memandang secara proporsional. Yaitu bahwa di dalam slametan ada unsure-unsur kebaikan sekalipun juga mengandung hal-hal yang dilarang agama. Unsur kebaikan dalam slametan antara lain : merekatkan persatuan dalam masyarakat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada Tuhan, serta mendoakan yang sudah meninggal. Semua tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga tidak ada alasan melenyapkannya, sekalipun tidak pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Sementara hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam – misalnya sesaji untuk makhluk halus – bisa diselaraskan dengan ajaran Islam secara pelan-pelan dengan penuh kearifan.
Sikap tersebut adalah yang diteladankan para Walisongo dalam meyebarkan ajaran Islam di nusantara. Sebagai pewaris Nabi, Walisongo tentu melakukan dakwah dengan pedoman jelas. Dalam menyikapi tradisi setempat diilhami oleh Nabi Muhammad sebagai panutannya. Satu misal, haji adalah ibadah yang sudah ada sejak sebelum kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad. Oleh Nabi, haji tidak dihilangkan, tapi diisi dengan ruh tauhid dan dibersihkan dari kotoran syirik. Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para sahabat dan para pengikutnya, termasuk Walisongo, yang disebut dengan kaum sunni atau Ahlussunnah wal Jama’ah.
Maka tidak mengherankan jika dakwah kaum sunni sangat berbeda dengan kaum non-sunni. Kaum sunni melakukan dakwah dengan cara arif. Pengikut Aswaja tidak melakukan dakwah secara destruktif (merusak) dengan menghancurkan tatanan atau segala sesuatu yang dianggap sebagai sesat. Jika saat ini banyak kita temui cara-cara dakwah yang penuh dengan kekerasan bahkan berlumuran darah, hal itu tidak sesuai dengan tuntutan dan kaidah Aswaja. Cara dakwah dengan kekerasan dan menyalahkan orang lain dapat ditemui akhir-akhir ini, contohnya FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan masih banyak lagi. Adapun para pengikut Aswaja melakukan dakwah dengan bijaksana dan penuh kearifan (bi al-hikmah).
Imam Syafi’i, salah satu pendiri madzhab fiqih Sunni, menyatakan : “kullu ra’yi shawab yahtamilu khatha’, wa kullu ghairi ra’yi khatha’ yahtamilu shawab” (pendapatku adalah benar tapi mengandung kemungkinan untuk salah, dan pendapat orang lain salah tapi mengandung kemungkinan untuk benar). Ini merupakan sebuah sikap seimbang yang teguh dengan pendiriannya, tapi tetap bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada pada orang lain. Kearifan seperti inilah yang memandu kaum sunni untuk tidak dengan mudah berperilaku seperti ‘preman berjubah’ yang teriak ‘Allahu Akbar’ sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang untuk menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat. Seakan-akan mereka benar secara mutlak dan orang lain sesat secara mutlak.
Sikap seperti ini adalah sikap dakwah Aswaja sebagaimana yang dicontohkan oleh Walisongo dalam menghadapi tradisi local. Terhadap tradisi yang tidak bisa diselaraskan dengan Islam, maka aktifitas dakwah dilakukan dengan damaidalam satu tatanan kehidupan yang saling menghargai dan damai (peaceful co-existance).
BAB VII
KEMASYARAKATAN
A. MABADI’ KHAIRA UMMAH
Muktamar (dulu disebut Kongres) Nahdlatul Ulama ke-13, tahun 1935, antara lain memutuskan sebuah kesimpulan, bahwa kendala utama yang menghambat kemampuan umat melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan menegakkan agama adalah karena kemiskinan dan kelemahan di bidang ekonomi. Maka muktamar mengamanatkan PBNU (dulu namanya HBNO) untuk mengadakan gerakan penguatan ekonomi warga. Para pemimpin NU waktu itu menyimpulkan bahwa kelemahan ekonomi ini bermula dari lemahnya sumber daya manusianya (SDM). Mereka lupa meneladani sikap Rasulullah sehingga kehilangan ketangguhan mental. Setelah diadakan pengkajian, disimpulkan ada beberapa prinsip ajaran islam yang perlu ditanamkan kepada warga NU agar bermental kuat sebagai modal perbaikan sosial ekonomi yang disebut Mabadi Khaira Ummah, atau langkah awal membangun umat yang baik. Di antara lima prinsip Mabadi Khaira Ummah adalah :
1. Al-Shidqu
sebagai salah satu sifat Rasulullah ﷺ, ash-shidqu, berarti jujur, benar, keterbukaan, tidak bohong, satunya hati-kata-perbuatan. Setiap warga Nahdliyin, mula-mula dituntut jujur kepada diri sendiri, kemudian kepada orang lain. Dalam mu’amalah dan bertransaksi harus memegangi sifat ash-shidqu ini sehingga lawan dan kawan kerjanya tidak khawatir tertipu. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saat menjalankan bisnis Sayyidatina Khadijah. Dari sikap itu beliau memperoleh sukses besar. Padahal itu memang menjadi perilaku Rasulullah sepanjang hayatnya.
Warga NU sebagai pengikut Kanjeng Nabi Muhammad harus mengikuti jejaknya. Bila melupakan dan meninggalkannya, pasti akan merugi dan menderita kegagalan. Sikap ash-Shidqu itu terbukti juga bagian penting dari kunci sukses bagi kegiatan perekonomian modern saat ini.
2. Al-Amanah wa al-Wafa’ bi al-‘Ahdi
Dapat dipercaya memegang tanggung jawab dan memenuhi janji. Amanah juga satu sifat Rasul. Merupakan hal penting bagi kehidupan seseorang dalam pergaulan memenuhi kebutuhan hidup. Sebelum diangkat sebagai Rasul, Nabi Muhammad mendapat gelar al-Amin dari masyarakat karena diakui sebagai orang yang dapat diserahi tanggungjawab. Satu di antara syarat warga NU agar sukses dalam kehidupan harus terpercaya dan menepati janji serta disiplin memenuhi agenda.
Bila orang suka khianat dan ingkar janji, pasti tidak dipercayaoleh kawan kerja dan relasi. Pelanggan akan memutus hubungan, dan kawan kerja akan menjauh. Al-Amanah dan al-Wafa bi al-‘Ahdi memang merupakan bagian penting bagi keberhasilan perekonomian. Dan itulah sikap para profesional modern yang berhasil pada masa kini.
3. Al-‘Adalah
Berarti bersikap adil, proporsional, obyektif, dan mengutamakan kebenaran. Setiap warga Nahdliyin harus memegangi kebenaran obyektif dalam pergaulan untuk mengembangkan kehidupan. Orang yang bersikap adil meski kepada diri sendiri akan dipandang orang lain sebagai tempat berlindung dan tidak menjadi ancaman. Warga Nahdliyin yang bisa menjadi pengayom bagi masyarakatnya sekaligus memudahkan dan membuka jalan kehidupannya. Sikap adil juga merupakan ciri utama penganut Sunni-Nahdliyin dalam kehidupan bermasyarakat. Dan bila ini benar-benar mampu menjadi karakter Nahdliyin, berarti juga wujud dari prinsip risalah kenabian rahmatan li al-‘alamin, yang berarti bukan hanya manfaat bagi diri sendiri atau golongan, tapi penebar kasih saying buat semua orang. Ini penting bagi sukses seseorang dalam mengarungi kehidupan.
4. Al-Ta’awun
Artinya tolong-menolong, atau saling menolong di antara sesama kehidupan. Ini sesuai dengan jatidiri manusia sebagai makhluk sosial, yang dia tidak bisa hidup tanpa kerjasama dengan makhluk lain : sesama manuisa, dengan binatang, maupun alam sekitar. Setiap warga Nahdliyin harus menyadari posisinya di tengah sesama makhluk, harus bisa menempatkan diri, bersedia menolong dan butuh pertolongan. Dalam agama Islam, tolong-menolong merupakan prinsip bermu’amalah. Karena itu, dalam jual-beli misalnya, kedua belah pihak harus mendapat keuntungan, tidak boleh ada satu pihak yang dirugikan. Sebab prinsipnya ta’awun : pembeli menginginkan barang, sedang penjual menginginkan uang.
Bila setiap bentuk mu’amalah menyadari prinsip ini, mu’amalah akan terus berkembang dan lestari. Jalan perekonomian pasti akan terus lancar bahkan berkembang. Bila prinsip ta’awun ditinggalkan, satu pihak akan menghentikan hubungan dan mu’amalah akan mengalami kendala.
5. Al-Istiqamah
Istiqamah adalah sikap mantap, tegak, konsisten, tidak goyah oleh godaan yang menyebabkan menyimpang dari aturan hokum dan perundangan. Di dalam Al-Qur’an dijanjikan kepada orang yang beriman dan istiqamah, akan memeproleh kecerahan hidup, terhindar dari ketakutan dan kesusahan, dan ujungnya mendapatkan kebahagiaan. Untuk mendapatkan sukses hidup warga Nahdliyin juga harus memegangi sifat konsisten ini, tahan godaan dan tidak tergiur untuk melakukan penyimpangan yang hanya menjanjikan kebahagiaan sesaat dan kesengsaraan jangka panjang. Sikap konsisten akan membuat kehidupan tenang yang bisa menumbuhkan inspirasi, inisiatif, dan kreasi mengatasi segala halangan dan kesulitan. Istiqamah menghindarkan dari kesulitan hidup dan atau mengalami jalan buntu. Istiqamah berarti berpegang teguh pada prinsip-prinsip keyakinan dan merutinkan amaliyah sesuai keyakinan tersebut.
B. MASLAHATUL UMMAH
1. Penguatan Ekonomi
Dalam kilasan sejarahnya, Nahdlatul Ulama awalnya terbentuk dari para pedagang muslim yang berkeinginan untuk menjadi masyarakat yang mandiri. Maka sebelum NU berdiri, telah berdiri terlebih dahulu Nahdlah al-Tujjar. Nahdlah al-Tujjar ini tidak lain adalah cikal bakal NU. Keinginan ini tidak terlepas dari nilai-nilai agama Islam yang memerintah setiap umatnya agar dapat membantu sesama umat manusia. Kaum Nahdliyin hampir mayoritas berasal dari kalangan masyarakat agraris. Kini masyarakat Nahdliyin harus berhadapan dengan perkembangan dunia industri yang sangat pesat. Otomatis, keahlian dan kemandirian masyarakat Nahdliyin di sektor agraria harus siap dan akrab dengan industrialisasi, modernisasi, komersialisasi, dan manajerialisasi produk-produk agraria.
Dengan terjadinya perubahan itu, NU setidaknya memerlukan sebuah penguasaan baru dalam masalah ekonomi. Perubahan ini bukan dimaksudkan untuk mengubah pola hidup masyarakat, melainkan meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat NU di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, nelayan, dan sector usaha kecil menengah lainnya guna meningkatkan nilai tambah beberapa sector yang sesuai dengan standar usaha yang berlaku saat ini.
Sementara itu, kalangan Nahdliyin yang berada di perkotaan menjalin komunikasi dan relasi dengan perusahaan dan birokrasi guna membuka peluang pangsa pasar bagi warga NU yang hidup di pedesaan yang menggantungkan hidupnya dari sector usaha kerakyatan.
Dengan pola hubungan dua arah ini, yakni pelaku usaha dan perusahaan dengan warga Nahdliyin di perkotaan, pelaku usaha NU tidak saja dapat memperoleh peningkatan ekonomi semat, tetapi juga dapat membuka kesempatan kepada warga NU untuk belajar dan mengembangkan hasil-hasil produksinya menjadi produk-produk unggul dan meningkatkan keahlian pelaku-pelaku usaha NU dalam mengelola sektor usaha kerakyatan, termasuk informasi di seputar jenis usaha apa yang saat ini dicari oleh perusahaan. Dengan demikian, pelaku-pelaku usaha NU tidak saja akan mampu meningkatkan pendapatan, tapi juga akan mengetahui perkembangan di seputar usaha.
2. Pendidikan
a. Pendidikan Pengajaran Formal
Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan yang turut serta mencerdaskan bangsa, Nahdlatul Ulama sangat memiliki perhatian besar terhadap dunia pendidikan. Pondok pesantren yang semula tradisional diformat membentuk kelas berjenjang yang lambat laun menjadi madrasah. Madrasah dan pondok pesantren merupakan kontribusi nyata warga NU terhadap tegak dan kemajuan bangsa ini. Karena itu, di tengah perubahan orientasi hidup masyarakat, pendidikan tidak saja berfungsi sebagai bekal bagi warga NU untuk bisa membaca dan menulis. Akan tetapi lembaga-lembaga pendidikan NU harus bisa bersaing dengan lembaga pendidikan di luar NU. Kemajuan teknologi dan era industrialisasi tidak saja mensyaratkan warga NU bisa membaca dan menulis, melainkan juga memahami dan menguasai ilmu pengetahuan yang terus berkembang pesat nyaris tanpa batas.
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, model pendidikan di pesantren tidak semata-mata bersifat diniyyah (mengajarkan materi keagamaan) saja, tetapi juga duniawi. Karena dengan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, maka kualitas keilmuan yang diberikan oleh lembaga-lembaga NU juga bisa disejajarkan dengan lembaga pendidikan di luar NU. Disadari atau tidak, pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan teknologi menjadi syarat untuk bisa bersaing di masa globalisasi. Sehingga, dunia pendidikan NU harus pula tanggap dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi dengan cara membenahi kemampuan pengelola lembaga pendidikan, guru, dan murid serta sarana pembelajaran terhadap teknologi informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir.
b. Pengajaran Lingkungan
Sejak dulu hingga kini, Nahdlatul Ulama memahami bahwa pendidikan dan sekolah merupakan sebuah kewajiban, namun pendidikan itu tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Bagi NU, pendidikan harus berlangsung sejak dari buaian ibu hingga ke liang lahat. Artinya, pendidikan tidak semata-mata dilakukan di sekolah, namun juga di masyarakat. Baik buruknya seseorang juga dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Karena itu, peran ulama menjadi sangat penting bagi pendidikan di luar sekolah. Ulama tidak saja mendidik santri agar menjadi generasi penerus bangsa yang berguna, tapi juga ngayomi lan ngayemi masyarakat umum. Untuk itu, pengajaran dan pendidikan tentang dampak lingkungan juga menjadi perhatian NU. Sebab, hal ini mengandung konsekuensi bagi NU untuk senantiasa memberikan keteladanan atau uswah kepada masyarakat luas.
3. Pelayanan Sosial
Salah satu motivasi kelahiran Nahdlatul Ulama adalah karena kesadaran buruknya pelayanan masayarakat, terutama rakyat kecil tempat mayoritas warga NU berada. Kemiskinan yang terus menjadi beban negeri ini, kebanyakan adalah dialami warga NU, buruknya gizi dan kesehatan mayoritas diderita warga NU, rendahnya tingkat pendidikan hampir seluruhnya juga disandang warga NU. Itu kenyataan yang harus diakui.
Namun bahkan dari kesadaran itu Nahdlatul Ulama harus memprioritaskan program dan usahanya dalam bidang pengentasan kemiskinan, perbaikan kesehatan, dan perbaikan tingkat pendidikan. Seberapapun kemampuan, tiap warga NU harus berusaha menjadi pelayan bagi pengentasan penderitaan masyarakat. Mereka yang berkemampuan harus berusaha sekuatnya untuk mengangkat saudara-saudaranya yang terus terjerat kemiskinan, kekurangan gizi dan kesehatan, dan rendahnya tingkat pendidikan.
Orang yang berkemampuan itu – di kalangan NU – saat ini sesungguhnya makin banyak. Dan kesadaran untuk itu juga mulai tumbuh. Terbukti sekarang di lingkungan NU sudah makin banyak lembaga-lembaga pendidikan yang cukup berkelas, panti asuhan bagi yatim dan yang terlantar, rumah-rumah sakit atau balai kesehatan, dan lembaga-lembaga perekonomian dan koperasi yang berusaha mengangkat derajat hidup warga NU. Itu semua patut dihargai, tapi itu masih jauh dari kebutuhan. Karena itu kesadaran untuk terus memperbaiki pelayanan social harus terus ditumbuhkan dan diupayakan.
BAB VIII
KEBANGSAAN
Sejak sebelum lahirnya, Indonesia merupakan negara plural yang didiami penduduk dengan beraneka ragam suku, adat istiadat, bahasa daerah, dan menganut berbagai agama, yang tinggal di lebih 17 ribu pulau, memanjang dari barat hingga timur hampir seperdelapan lingkar bumi. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama merupakan salah satu komunitas yang hidup di situ, dan sejak mula menyadari dan memahami bahwa keberadaannya merupakan bagian tidak terpisahkan dari keanekaragaman itu. Karena itu, NU terus mengikuti dan ikut menentukan denyut serta arah bangsa ini berjalan. Karena itu, segala permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia juga ikut menjadi keprihatinan NU. Ibarat satu tubuh, bila salah satu bagian menderita, maka seluruhnya ikut merasakan.
Dalam kaitan ini, Nahdlatul Ulama mendasari dengan empat semangat : 1) Ruhut Tadayun, yaitu semangat beragama yang dipahami, didalami, dan diamalkan; 2) Ruhul Wathaniyah, yakni semangat cinta tanah air; 3) Ruhut Ta’addudiyah, yaitu semangat menghormati perbedaan; dan 4) Ruhul Insaniyah, berarti semangat kemanusiaan. Keempat semangat NU itu selalu melekat dan terlibat dalam proses perkembangan Indonesia.
Ruhut Tadayun menunjukkan bahwa NU mendorong warganya untuk senantiasa meningkatkan pemahaman nilai-nilai agama. Bagi NU, Islam adalah agama yang ramah dan damai. Dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang terkandung dalam Islam, NU menjadi barometer kegiatan beragama yang moderat (tawasuth). Dengan semakin banyaknya konflik kekerasan yang disinggungkan dengan agama, NU harus lebih intensif terus mengembangkan sikap tawasuth ini ke masyarakat, tanpa pandang perbedaan agama dan keyakinan meraka. Pada individu Nahdliyin harus tertanam kesadaran (ghirah) Islamiyah (kepekaan membela eksistensi Islam) dan tetap menghormati orang lain yang memeluk agama yang berbeda.
Keterlibatan NU dalam pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, NU telah secara aktif menerapkan semangat cinta tanah air atau ruhul wathaniyah. Bahkan, ketika sebagian umat muslim mengajukan Syari’at Islam sebagai ideologi negara dengan memasukkan tujuh kata dalam Pancasila yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, NU rela menghilangkannya demi persatuan bangsa tanpa harus mengorbankan aqidah. Ini gambaran jelas betapa NU sangat konsisten dengan perjuangan para pahlawan yang berasal dari berbagai macam latar belakang agama dan etnis yang ikut berjuang memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan. Dengan demikian, sudah menjadi keyakinan warga Nahdliyin bahwa Pancasila merupakan wujud upaya umat Islam Indonesia dalam mengamalkan agamanya.
Dengan melihat semanagt cinta tanah air atau ruhul wathaniyah tersebut, NU sejak awal menyadari bahwa keanekaragaman bangsa ini harus dipertahankan. Bagi NU, keanekaragaman bangsa Indonesia bukanlah penghalang dan kekurangan, melainkan kekayaan dan peluang, sehingga warga Nahdliyin menganggap perlu agar seluruh warganya selalu menjunjung tinggi untuk menghormati keanekaragaman itu. Di dalam Islam sendiri terdapat berbagai aliran dan madzhab yang berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan perbedaan etnis dan ras serta bahasa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Perbedaan di mata NU bukan untuk dipertandingkan dan diadu mana yang terbaik dan mana yang terburuk. Perbedaan itu, sebaliknya, ditempatkan sebagai modal bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Di sini dapat dilihat, betapa konflik etnis dan aliran keagamaan dan keyakinan tidak pernah menjadikan NU patah arang. Justru dengan konflik-konflik itu NU selalu mendorong semua pihak agar menghormati perbedaan yang ada, karena bangsa ini memang bangsa yang multikultural, bangsa yang kaya akan keanekaragaman agama, etnis, ras, dan bahasa. Semangat ini biasa disebut dengan ruhut ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan).
Ruhul Insaniyah adalah semangat yang mendorong setiap warga negara Indonesia untuk menghormati setiap hak manusia. Meski NU merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia bahkan di dunia, namun kebesaran itu tidak menjadikan NU melihat organisasi masyarakat dan agama yang kecil dengan sebelah mata. Kebesaran ini, bagi NU karena adanya pengakuan hak dan derajat yang sama kepada semua warga negara, yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi pandangan orang tentang penghargaan NU terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang pada akhirnya orang-orang yang sebelumnya tidak menjadi warga NU kemudian beralih menjadi warga Nahdliyin.
Keempat semangat inilah yang menjadi kunci NU kemudian menjadi sebuah organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia dan dunia. Dengan demikian, sebuah kemunduran jika NU melupakan empat semangat ini.
BAB IX
KHATIMAH
Yang dipaparkan dalam buku ini adalah sebuah penjabaran secara singkat dari sikap keberagamaan dan kemasyarakatan Aswaja, yaitu tawassuth dan i’tidal (tengah-tengah), tasamuh (toleran), tawazzun (keseimbangan), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Tawassuth dan i’tidal adalah sebuah sikap keberagamaan yang tidal terjebak pada titik-titik ekstrem. Sikap yang mampu menjumput setiap kebaikan dari berbagai kelompok. Kemampuan untuk mengapresiasi kebaikan dan kebenaran dari berbagai kelompok memungkinkan pengikut Aswaja untuk tetap berada di tengah-tengah.
Tasammuh adalah sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Keragaman hidup menuntut sebuah sikap yang sanggup untuk menerima perbedaan pendapat dan menghadapinya secara toleran. Toleransi yang tetap diimbangi oleh keteguhan sikap dan pendirian.
Tawazun artinya seimbang. Keseimbangan adalah sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Sebagaimana sikap tawassuth, tawazun juga menghendaki sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak pada titik-titik ekstrem, misalnya kelompok keagamaan yang terlalu terpaku kepada masa lalu sehingga umat Islam sekarang hendak ditarik ke belakang mentah-mentah sehingga bersikap negatif terhadap setiap ikhtiar kemajuan. Atau sebaliknya, kelompok keagamaan yang menafikan seluruh kearifan masa lalu sehingga tercerabut dari akar sejarahnya. Aswaja menghendaki sebuah sikap tengah-tengah agar tidak terjebak ke dalam ekstremitas.
Amar ma’ruf nahi munkar atau mangajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah sebuah konsekuensi dari keyakinan kita terhadap kebenaran Islam ala Ahlissunnah wal Jama’ah. Saat ini banyak kelompok Islam yang sikap keberagamaannya tidak menunjukkan moderasi ala Aswaja tapi mengaku-aku Aswaja. Amar ma’ruf nahi munkar ditujukan pada siapa saja, muslim maupun non-muslim, yang melakukan kemungkaran dengan menebar perilaku destruktif, menyebarkan rasa permusuhan, kebencian dan perasaan tidak aman, serta menghancurkan keharmonisan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Jka kita memeras kembali keempat nilai ideal tersebut, maka kita akan menemukan satu kata, yaitu moderat yang berarti seimbang, proporsional, dan toleran. Sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang moderat ini melandasi seluruh ajaran Aswaja sejak dulu. Oleh karena itu, maka perbedaan sikap antara kalangan muslim keras atau ekstrem yang saat ini sedang marak dengan sikap moderat kaum sunni tidak hanya terjadi saat ini, tapi sudah ada sejak dulu.
Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dianggap sebagai ajaran tauhid Sunni tidak lain adalah sebuah ikhtiar mencari jalan tengah (moderat) antara ekstremitas Jabariyah dan Qadariyah/Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiyah juga muncul sebagai respon atas sikap keberagamaan Mu’tazilah yang menganggap semua musuh-musuhnya sesat sehingga semua umat Islam harus mengikuti ajaran Mu’tazilah. Arogansi Mu’tazilah ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan politik negara yang bersifat represif. Kalau saat ini ada kelompok muslim yang menganggap di luar kelompoknya adalah sesat dan hendak memaksakan pendapatnya dengan menggunakan kekuasaan negara (biasanya dengan cara meng-Islamkan negara), maka sungguh nyata bahwa mereka bukanlah kaum Sunni.
Semangat moderasi juga kita temukan dalam empat ulama pendiri madzhab fiqih Sunni (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali). Mereka adalah ulama yang berjuang (ijtihad) untuk merumuskan hukum Islam dengan mencari keseimbangan antara dalil nash dan ra’yu (rasio). Hal ini terlihat semakin jelas dalam pribadi Imam Syafi’i, di mana dia sangat membela hadits shahih, tapi sekaligus juga menganjurkan qiyas (analogi) secara rasional serta merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang bersifat logis dan rasional.
Semangat moderasi juga ditemukan dalam tasawwuf Sunni. Al-Ghazali adalah salah satu ulama Sunni besar yang berusaha dengan keras menyelaraskan antara syari’at dengan hakikat. Bagi Al-Ghazali, syari’at atau fiqih tanpa ada muatan tasawwufnya menjadikan ibadah kering tanpa ruh, sementara tasawwuf yang mengabaikan syari’at bisa terjebak dalam kesesatan. Karena itu, maka ada adagium yang sangat terkenal dalam masalah ini, yaitu “man tafaqqaha wala tashawwafa faqad tafassaqa, wa man tashawwafa wala tafaqqaha faqad tazandaqa” (orang yang mengikuti fiqih dengan mengabaikan tasawwuf bisa terperosok dalam kefasikan, dan orang yang mengikuti tasawwuf dengan mengabaikan fiqih bisa terperosok dalam ke-zindiq-an).
Sikap moderat yang diteladankan ulama Sunni itu tetap dilanjutkan oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Sepanjang sejarah dakwah Walisongo, kita menemukan sebuah upaya untuk mencari jalan tengah antara ajaran Islam sebagaimana yang tertera dalam nash dengan kondisi riil yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sikap moderat Walisongo tidak hanya berhasil dalam menyebarkan Islam, tapi juga mampu menghadirkan Islam yang toleran dan damai, bukan Islam yang garang dan menghancurkan (destruktif).
Wallaahu a’lam bish-shawab
Sumber: http://ipnujember.blogspot.com/2007/09/aswaja-nahdliyah.html
Terimakasih sudah berkunjung & berbagi. ( Lintang Sanga )