Baca Juga
Madzhab dalam Islam adalah salah satu pedoman dan panutan kita dalam beribadah. Karena dalam beribadah harus ada panutan yang jelas. Panutan yang benar tentunya adalah Rasulullah ﷺ. Namun kita tidak mungkin langsung berhujjah pada Rasulullah ﷺ karena jarak yang ssekian lama. maka diperlukan satu pedoman yang ahli dalam Hadits, Qur'an dan beberapa hal yang lain. Dari sinilah diperlukan madzhab.
Dalam Islam ada banyak sekali madzhab yang ada. Namun dari sekian banyak madzhab ada 4 madzhab yang termasyhur.
Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu madzhab yang empat. Seluruh umat Islam di dunia dan para ulamanya telah mengakui bahwa Imam yang empat ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibnu Hambal telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid. Hal itu dikarenakan ilmu, amal dan akhlaq yang dimiliki oleh mereka. Maka ahli fiqih memfatwakan bagi umat Islam wajib mengikuti salah satu madzhab yang empat tersebut.
Madzhab Hanafi
Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.
Imam Abu Hanifah hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyyah dan Abbasiyyah. Beliau termasuk pengikut Tabi'in, sebagian ahli sejarah menyebutkan, beliau bahkan termasuk Tabi’in. Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman Bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak.
Madzhab ini lahir di Kufah. Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Ar-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang..
Mengenai bersambungnya ilmu fiqih Imam Abu Hanifah kepada Rasulullah ﷺ, Imam Al-Laknawi, ulama muhaqiq madzhab Hanafi menyatakan, ”Ketahuilah, bahwasanya mayoritas madzhab Abu Hanifah diambil dari para sahabat yang tinggal di Kufah dan dari para ulama setelah mereka” (An-Nafi’ Al-Kabir Syarh Jami’ Ash-Shaghir li Muhammad bin Hasan, hal. 13)
Mengenai fiqih yang diambil, Imam Abu Hanifah menyampaikan, "Suatu saat aku mendatangi Abu Ja’far Amirul Mukminin, lalu ia bertanya kepadaku, ’Wahai Abu Hanifah, dari siapa engkau mengambil ilmu?’ Aku mengatakan, dari Hammad, ia dari Ibrahim An-Nakhai’i, ia dari Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas.”
Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah:
- Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
- Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi ﷺ, jauh sebelum era Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
Di kemudian hari, metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat umat Islam sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber syariah Islam. Metodologi madzhab ini menjadi sangat menentukan dalam dunia fiqih di berbagai negeri.
Madzhab Maliki
Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara lain khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan cinta, sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena hormat kepada makam Rasul.
Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan Imam Maliki mengutamakan perbuatan Ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil Ahli Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan Ahli Madinah termasuk hadits mutawatir.
Madzhab ini adalah kebalikan dari madzhab Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, madzhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab madzhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi ﷺ sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah ﷺ bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.
Mengenai ilmu Imam Malik, Al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki menyatakan, ”Ketahuilah bahwa bangunan fiqih Imam (yakni Malik) dalam Muwaththa’-nya dibangun atas hadits-hadits-musnad atau mursal-, kemudian perkara-perkara yang dihukumi oleh Al-Faruq (Umar) radhiyallahu ‘anhu karena mayoritas pendapatnya sesuai dengan wahyu, kemudian (berpijak) di atas amalan Ibnu Umar karena para sahabat senior bersaksi atas konsistensi dan kelebihannya dalam mengikuti atsar”.
Sedangkan sanad Imam Malik kepada Ibnu Umar cukup masyhur, yakni Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, yang dijuluki para ulama sebagai as-silsilah adz-dzhabaiyah (rantai emas). (lihat, Anwar Al-Masalik ila Riwayat Muwaththa’ Malik hal. 12)
Madzhab Syafi’i
Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan madzhab terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i.
Di antara kelebihan Asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun, pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain.
Salah satu karangannya adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadits, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra’yi dan fiqh ahli hadits .
Al-Allamah Al-Qalyubi menyebutkan sanad fiqih Imam Asy-Syafi’i dengan rangkaian berikut; Asy-Syafi’i dari Muslim bin Khalid Az-Zanji dari Ibnu Juraij dari Atha’ bin Abi Rabah dari Ibnu Abbas dari Rasulullah ﷺ. (Hasyiyatani Al-Qalyubi wa Amirah, 9/1)
Sedangkan Al-Allamah Mafudz At-Tarmasi menulis sanad fiqih Imam Asy-Syafi’i melalui jalur lain yakni jalur Imam Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Rasulullah ﷺ. Sedangkan sanad fiqih Syeikh Mahfudz sendiri bersambung hingga Imam Asy-Syafi’i. Melalui Syeikh Mahfudz ini, sanad fiqih para ulama Nusantara bersambung hingga Imam Asy-Syafi’i, lantas Rasulullah ﷺ. (lihat Kifayah Al-Mustafid li Ma Ala Min Al-Asanid, hal. 23)
Imam Asy-Syafi’i juga mengambil fiqih dari Imam Malik dimana beliau melakukan mulazamah pada Imam Malik hingga wafatnya. Dan Al-Muwaththa’ pun menjadi pokok dalam ijtihad Imam Asy-Syafi’i meski di madzhab jadid Imam Asy-Syafi’i meninggalkan sejumlah pendapat Imam Malik. (lihat, Anwar Al-Masalik, hal. 11)
Madzhab Hanbali
Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaebani, lahir di Baghdad tahun 164 H dan wafat tahun 248 H. Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir. Sanad fiqih Imam Ahmad sampai kepada Rasulullah melalui Imam Asy-Syafi'i yang juga melalui Imam Malik.
Menurut beliau hadits dha’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdhal (fadhailul a'mal) bukan untuk menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena ulama sangat banyak dan tersebar luas.
Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadits “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadits. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadits mursal dan hadits dhaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadits bathil atau munkar.
Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadits. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad, Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran, Abu Bakr Al-Khallal, Abul Qasim yang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa madzhab 4 yang ada saat ini merupakan hasil talaqqi ilmu para salaf kepada Rasulullah ﷺ. Sehingga kesemuanya merupakan ilmu yang mengandung petunjuk dan lebih terjaga. Jika demikian, mengambil dien dari mereka tentu lebih utama daripada mengambilnya dari orang-orang yang jauh setelah mereka yang tidak mengambilnya dari mereka atau dari pemahaman yang terbentuk karena kesimpulan sendiri.
Walau berbeda pendapat, para ulama pendiri 4 madzhab tidak mencela satu sama lain, justru mereka tidak segan-segan berguru kepada lainnya.
Abu Hanifah adalah ulama mujtahid pendiri madzhab tertua di kalangan 4 madzhab. Walau demikian, beliau tidak gengsi menelaah kitab Imam Malik pendiri madzhab Maliki, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abi Hatim dalam muqadimah Ma’rifah Al-Jarh wa At-Ta’dil. Padahal beliau sendiri adalah pewaris ilmu para murid Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma. (lihat, Al-Maqalat Al-Kautsari, hal. 99)
Imam As-Suyuthi dalam Manakib Imam Malik (hal. 119), telah menukil bahwa dalam Musnad Abu Hanifah juga terdapat periwayatan beliau dari Imam Malik.
Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Malik, dimana beliau menyambut dan memuliakan Imam Abu Hanifah saat berhaji. Lebih dari itu kedua Imam besar ini saling bermudzakarah, hingga Imam Malik memperoleh 60 ribu permasalahan dari Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan oleh Mas’ud bin Syaibah As-Sindi dalam muqaddimah Kitab At-Ta’lim. Sebab itulah beberapa ulama Milikiyah menyatakan bahwa jika mereka menemui masalah yang tidak ada periwayatan dari Imam Malik, maka mereka mengambi pendapat dari Imam Abu Hanifah. (lihat, Al-Maqalat Al-Kautsari, hal. 99)
Apa yang dilakukan Imam Asy-Syafi’i tidak berbeda dengan para mujtahid sebelumnya. Beliau berguru kepada Imam Malik untuk menyima Al-Muwaththa’. Dan ketika menuju Bagdad dari Yaman pada tahun 184 H, beliau juga menjalin hubungan dan mengambil ilmu dari Muhammad bin Hasan serta Yusuf bin As-Simti yang merupakan sahabat Abu Hanifah. Sebab itu beliau dikenal sebagai ulama yang menyatukan dua pemikiran fiqih, Madinah dan Iraq. (lihat, Al-Maqalat Al-Kautsari, hal. 99)
Sedangkan Ahmad bin Hanbal sendiri mengambil ilmu dari Imam Abu Yusuf selama tiga tahun disamping mengkaji kitab-kitab Muhammad bin Hasan yang keduanya merupakan sahabat Imam Abu Hanifah. Kemudian beliau juga mengambil fiqih juga dari Imam Asy-Syafi’i ketika beliau tiba di Iraq tahun 195 H. (lihat, Al-Maqalat Al-Kautsari, hal. 100)
Bahkan, karena amat cinta terhadap guru, Imam Ahmad selalu mendoakan Imam Asy-Syafi’i setelah shalat dalam waktu 40 tahun. (Manaqib Imam Asy-Syafi’i, Al-Baihaqi, 2/254)
Jika demikian, sesungguhnya para ulama madzhab empat merupakan satu keluarga dalam berkhidmat terhadap syari'at Allah. Dan hasilnya, mereka saling menghormati satu sama lain dan tidak saling mencela tatkala berbeda dalam pendapat.
Hal itu bisa dilihat bagaimana Imam Asy-Syafi’i menghormati pendapat Imam Abu Hanifah. Ketika berada di Baghdad dan kebetulan melaksanakan shalat Shubuh di dekat makam Abu Hanifah, beliau memilih tidak melakukan qunut Shubuh. (Al-Inshaf, hal. 24-25)
Demikian pula dalam beberapa Bab fiqih, Imam Asy-Syafi’i berupaya untuk menghindari khilaf dengan para mujtahid lainnya. Ini terlihat dalam pembahasan masalah i’tikaf, dimana madzhab beliau memandang sahnya i’tikaf walau hanya sebentar menetap di masjid. Namun beliau menyatakan, ”Dan aku lebih suka satu hari. Dan aku menyatakan bahwa hal itu mustahab, untuk keluar dari khilaf, karena Abu Hanifah memandang tidak sah jika kurang dari sehari.” (Al Majmu’, 6/479)
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa madzhab 4 yang ada saat ini merupakan hasil talaqqi ilmu para salaf kepada Rasulullah ﷺ. Sehingga kesemuanya merupakan ilmu yang mengandung petunjuk dan lebih terjaga. Jika demikian, mengambil dien dari mereka tentu lebih utama daripada mengambilnya dari orang-orang yang jauh setelah mereka yang tidak mengambilnya dari mereka atau dari pemahaman yang terbentuk karena kesimpulan sendiri.
Perbedaan Pendapat Di Antara Imam Madzhab
Walau berbeda pendapat, para ulama pendiri 4 madzhab tidak mencela satu sama lain, justru mereka tidak segan-segan berguru kepada lainnya.
Abu Hanifah adalah ulama mujtahid pendiri madzhab tertua di kalangan 4 madzhab. Walau demikian, beliau tidak gengsi menelaah kitab Imam Malik pendiri madzhab Maliki, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abi Hatim dalam muqadimah Ma’rifah Al-Jarh wa At-Ta’dil. Padahal beliau sendiri adalah pewaris ilmu para murid Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma. (lihat, Al-Maqalat Al-Kautsari, hal. 99)
Imam As-Suyuthi dalam Manakib Imam Malik (hal. 119), telah menukil bahwa dalam Musnad Abu Hanifah juga terdapat periwayatan beliau dari Imam Malik.
Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Malik, dimana beliau menyambut dan memuliakan Imam Abu Hanifah saat berhaji. Lebih dari itu kedua Imam besar ini saling bermudzakarah, hingga Imam Malik memperoleh 60 ribu permasalahan dari Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan oleh Mas’ud bin Syaibah As-Sindi dalam muqaddimah Kitab At-Ta’lim. Sebab itulah beberapa ulama Milikiyah menyatakan bahwa jika mereka menemui masalah yang tidak ada periwayatan dari Imam Malik, maka mereka mengambi pendapat dari Imam Abu Hanifah. (lihat, Al-Maqalat Al-Kautsari, hal. 99)
Apa yang dilakukan Imam Asy-Syafi’i tidak berbeda dengan para mujtahid sebelumnya. Beliau berguru kepada Imam Malik untuk menyima Al-Muwaththa’. Dan ketika menuju Bagdad dari Yaman pada tahun 184 H, beliau juga menjalin hubungan dan mengambil ilmu dari Muhammad bin Hasan serta Yusuf bin As-Simti yang merupakan sahabat Abu Hanifah. Sebab itu beliau dikenal sebagai ulama yang menyatukan dua pemikiran fiqih, Madinah dan Iraq. (lihat, Al-Maqalat Al-Kautsari, hal. 99)
Sedangkan Ahmad bin Hanbal sendiri mengambil ilmu dari Imam Abu Yusuf selama tiga tahun disamping mengkaji kitab-kitab Muhammad bin Hasan yang keduanya merupakan sahabat Imam Abu Hanifah. Kemudian beliau juga mengambil fiqih juga dari Imam Asy-Syafi’i ketika beliau tiba di Iraq tahun 195 H. (lihat, Al-Maqalat Al-Kautsari, hal. 100)
Bahkan, karena amat cinta terhadap guru, Imam Ahmad selalu mendoakan Imam Asy-Syafi’i setelah shalat dalam waktu 40 tahun. (Manaqib Imam Asy-Syafi’i, Al-Baihaqi, 2/254)
Jika demikian, sesungguhnya para ulama madzhab empat merupakan satu keluarga dalam berkhidmat terhadap syari'at Allah. Dan hasilnya, mereka saling menghormati satu sama lain dan tidak saling mencela tatkala berbeda dalam pendapat.
Hal itu bisa dilihat bagaimana Imam Asy-Syafi’i menghormati pendapat Imam Abu Hanifah. Ketika berada di Baghdad dan kebetulan melaksanakan shalat Shubuh di dekat makam Abu Hanifah, beliau memilih tidak melakukan qunut Shubuh. (Al-Inshaf, hal. 24-25)
Demikian pula dalam beberapa Bab fiqih, Imam Asy-Syafi’i berupaya untuk menghindari khilaf dengan para mujtahid lainnya. Ini terlihat dalam pembahasan masalah i’tikaf, dimana madzhab beliau memandang sahnya i’tikaf walau hanya sebentar menetap di masjid. Namun beliau menyatakan, ”Dan aku lebih suka satu hari. Dan aku menyatakan bahwa hal itu mustahab, untuk keluar dari khilaf, karena Abu Hanifah memandang tidak sah jika kurang dari sehari.” (Al Majmu’, 6/479)
Demikianlah para salaf shalih, mereka saling menghargai dalam masalah ijitihad, tidak mencela pendapat ulama lainnya, saling bekerja sama dalam ilmu, bahkan mereka enggan memaksakan madzhabnya.
Wallahu a’lam bish-shawab
referensi
hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2013/08/12/5846/4-madzhab-1-keluarga
hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/10/06/30840/sanad-fiqih-madzhab-4
hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2013/08/12/5846/4-madzhab-1-keluarga
hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/10/06/30840/sanad-fiqih-madzhab-4
Terimakasih sudah berkunjung & berbagi. ( Lintang Sanga )