Baca Juga
Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits Nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari`at Islam. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ. (رواه مسلم في صحيحه)
“Barangsiapa yang melakukan (merintis) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala daripada perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya selepasnya, tanpa dikurangkan pahala mereka sedikitpun”. (Riwayat Muslim di dalam kitab Shahihnya).
Faedah daripada hadits tersebut:
Hadits ini memberikan kelonggaran kepada ulama’ ummat Nabi Muhammad ﷺ untuk melakukan perkara-perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Athar (peninggalan) maupun Ijma` ulama’. Peringatan Maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satupun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti ia telah mempersempit kelonggaran yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada zaman Nabi.
2. Dalil-dalil tentang adanya bid`ah hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai bid`ah.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka, “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab, “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir’aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda,
أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)”.
Lalu Rasulullah ﷺ berpuasa dan memerintahkan para sahabat baginda untuk berpuasa.
Faedah daripada hadits tersebut:
Pengajaran penting yang dapat diambil daripada hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan bersyukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Sama ada melakukan perbuatan bersyukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari bahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca Al-Qur’an dan sebagainya. Bukankah kelahiran Rasulullah ﷺ adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?!
Adakah nikmat yang lebih agung daripada dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung daripada pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani.
4. Hadits riwayat Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. bahwa Rasulullah ﷺ ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (Riwayat Muslim)
Faedah daripada hadits tersebut:
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan puasa pada hari Senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu baginda dilahirkan. Ini adalah isyarat daripada Rasulullah ﷺ, artinya jika baginda berpuasa pada hari Senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran baginda sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah ﷺ tersebut untuk kita melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca Al-Qur’an, membaca kisah kelahiran baginda, bersedekah, atau melakukan perbuatan baik dan lainnya. Kemudian, oleh karena puasa pada hari Senin diulangi setiap minggunya, maka berarti peringatan Maulid juga diulangi setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah ﷺ masih diperselisihkan oleh para ulama’ mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka boleh saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak menjadi masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Al-Hafizh As-Sakhawi seperti yang akan dinyatakan di bawah ini.
Fatwa Beberapa Ulama’ Ahlusunnah wal Jama`ah:
1. Fatwa Asy-Syaikh Al-Islam Khatimah Al-Huffazh Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits Al-Imam Ahmad Ibn Hajar Al-`Asqalani. Beliau menyatakan seperti berikut:
“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ
“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukilkan daripada (ulama’) Salafush Shalih yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang thabit (Shahih)”.
2. Fatwa Al-Imam Al-Hafizh As-Suyuthi. Beliau mengatakan di dalam risalahnya “Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut,
“عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat Al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) yang melakukannya akan memperolehi pahala. Karena perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakkan (menzahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (Rasulullah) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan Al-Muzhaffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun Al-Jami` Al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa Al-Imam Al-Hafizh As-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “Al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut,
“لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ
“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum Salafush Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan umat Islam di semua daerah dan kota-kota besar sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian As-Sakhawi berkata: “Aku katakan: Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya” .
Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama’ terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang suci bersih, maka kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “BENCI” yang timbul daripada sebagian golongan yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasari kepada hawa nafsu semata-mata. Orang-orang seperti itu sama sekali tidak mempedulikan fatwa-fatwa para ulama’ yang shaleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat menghinakan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan Maulid Nabi ini dengan perayaan hari Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa segan sama sekali berkata:
إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan Maulid lebih haram dari daging babi”.
Golongan yang anti Maulid seperti WAHABI menganggap bahwa perbuatan bid`ah seperti menyambut Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik (kekufuran). Dengan demikian, menurut mereka, lebih besar dosanya daripada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandungi unsur syirik (kekufuran).
Jawab:
Na`uzu billah… Sesungguhnya sangat kotor dan jahat perkataan orang seperti ini. Bagaimana ia berani dan tidak mempunyai rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, yang telah dipersetujui oleh para ulama’ dan orang-orang shaleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ulama’-ulama’ ahli hadits dan lainnya, dengan perkataan buruk seperti itu?!
Orang seperti ini benar-benar tidak mengetahui kejahilan dirinya sendiri. Apakah dia merasakan dia telah mencapai derajat seperti Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani, Al-Hafizh As-Suyuthi atau Al-Hafizh As-Sakhawi atau mereka merasa lebih `alim dari ulama’-ulama’ tersebut?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukumnya haram di dalam Al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada unsur pengharamannya dari nash-nash syari’at agama?! Ini berarti, bahwa golongan seperti mereka yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam (tingkatan-tingkatan hukum). Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash (dalil Al-Qur’an) dan mana yang haram dengan istinbath (mengeluarkan hukum). Tentunya orang-orang ”BODOH” seperti ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan ikutan dalam mengamalkan agama ISLAM ini.
Wallahu a'lam
http://pondokhabib.wordpress.com
Terimakasih sudah berkunjung & berbagi. ( Lintang Sanga )